Terkuak! Kerugian Negara Rp541 Juta dalam Kasus Korupsi Jembatan Koltim, Dua Tersangka Ditetapkan
Kejaksaan Negeri Kolaka menetapkan dua tersangka dalam kasus Korupsi Jembatan Koltim yang merugikan negara Rp541 juta. Siapa saja mereka dan bagaimana modusnya?
Kejaksaan Negeri (Kejari) Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), telah menetapkan dua individu sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi. Kasus ini terkait pembangunan dua jembatan di Kabupaten Kolaka Timur (Koltim) pada tahun anggaran 2023, yang menyebabkan kerugian negara mencapai Rp541 juta.
Penetapan tersangka ini diumumkan oleh Kepala Seksi Intelijen Kejari Kolaka, Bustanil Arifin, pada Selasa, 22 Juli. Kedua tersangka yang dimaksud adalah Bastian, yang merupakan eks Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Koltim dan kini menjabat Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Koltim, serta Muawia, eksekutor proyek dari BPBD Koltim.
Proyek jembatan yang menjadi objek kasus ini meliputi Jembatan Lere Jaya di Kecamatan Lambandia dan Jembatan Sungai Alaaha di Desa Alaaha, Kecamatan Uesi. Kedua proyek tersebut dikerjakan oleh BPBD Koltim melalui skema swakelola, sehingga memunculkan dugaan penyalahgunaan wewenang dan anggaran.
Kronologi Penetapan Tersangka Korupsi Jembatan Koltim
Penetapan Bastian dan Muawia sebagai tersangka merupakan hasil penyelidikan mendalam yang dilakukan oleh Kejari Kolaka. Bastian, sebagai mantan Kepala BPBD Koltim, diduga memiliki peran sentral dalam pengambilan keputusan terkait proyek tersebut. Sementara itu, Muawia disebut sebagai eksekutor yang bertanggung jawab langsung atas pelaksanaan proyek di lapangan.
Dua jembatan yang menjadi fokus kasus ini adalah Jembatan Lere Jaya dan Jembatan Sungai Alaaha. Proyek-proyek ini vital untuk konektivitas di Kolaka Timur, namun pelaksanaannya diduga tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan. Pembangunan jembatan melalui skema swakelola seharusnya menjamin efisiensi, namun justru terindikasi adanya penyimpangan.
Kejari Kolaka terus mendalami peran masing-masing tersangka untuk mengungkap seluruh jaringan yang terlibat. Proses hukum ini diharapkan dapat memberikan kejelasan mengenai modus operandi korupsi yang terjadi. Penyelidikan ini menunjukkan komitmen aparat penegak hukum dalam memberantas praktik korupsi di daerah.
Modus dan Kerugian Negara dalam Proyek Jembatan
Total anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan dua jembatan ini mencapai Rp954 juta. Rinciannya, Rp682 juta dialokasikan untuk Jembatan Lere Jaya, dan Rp271 juta untuk Jembatan Sungai Alaaha. Dana tersebut bersumber dari bantuan tidak terduga (BTT), yang seharusnya digunakan untuk penanganan bencana atau kondisi darurat.
Berdasarkan audit yang dilakukan oleh Inspektorat Provinsi Sulawesi Tenggara, ditemukan kerugian negara yang signifikan. Angka kerugian mencapai Rp541 juta, menunjukkan adanya selisih besar antara anggaran yang dikeluarkan dan nilai riil pekerjaan yang seharusnya. Kerugian ini menjadi bukti kuat adanya penyimpangan dalam pengelolaan dana publik.
Modus operandi yang diduga terjadi melibatkan penyalahgunaan dana BTT yang dialokasikan untuk proyek infrastruktur. Skema swakelola yang diterapkan pada proyek ini membuka celah bagi praktik korupsi. Audit Inspektorat menjadi dasar utama bagi Kejari Kolaka untuk menetapkan besaran kerugian negara dan melanjutkan proses hukum terhadap para tersangka.
Proses Hukum dan Ancaman Pidana
Hingga saat ini, pihak Kejari Kolaka telah melakukan penahanan terhadap salah satu tersangka, Muawia. Ia ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas II Kolaka untuk mempermudah proses penyidikan. Penahanan ini merupakan langkah awal dalam memastikan tersangka tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
Sementara itu, penahanan terhadap tersangka Bastian masih ditunda karena alasan kesehatan yang bersangkutan. Kejari Kolaka telah menjadwalkan panggilan wajib hadir untuk Bastian pada Kamis, 24 Juli 2025. Penundaan ini menunjukkan bahwa proses hukum tetap mempertimbangkan kondisi tersangka, namun tidak akan menghentikan jalannya penyidikan.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini mengatur sanksi berat bagi pelaku tindak pidana korupsi. Ancaman hukuman yang menanti mereka tidak main-main, yaitu pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun, sesuai dengan tingkat kesalahan yang terbukti di pengadilan.