Tiga Hakim Nonaktif PN Surabaya Dituntut 9-12 Tahun Penjara Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Tiga hakim nonaktif PN Surabaya dituntut 9-12 tahun penjara karena menerima suap dalam kasus vonis bebas Ronald Tannur, merusak kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung menuntut tiga hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan pidana penjara 9 hingga 12 tahun dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait vonis bebas terpidana pembunuhan, Ronald Tannur. Sidang pembacaan tuntutan digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 22 April. Perbuatan para hakim dinilai telah mencederai kepercayaan publik terhadap Mahkamah Agung (MA) dan sistem peradilan Indonesia.
Erintuah Damanik dan Mangapul dituntut masing-masing 9 tahun penjara, sementara Heru Hanindyo dituntut 12 tahun. Tuntutan tersebut didasarkan pada pelanggaran Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Selain hukuman penjara, mereka juga dituntut pidana denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara.
JPU, Bagus Kusuma Wardhana, menyatakan, "Kami menuntut agar ketiga terdakwa dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagai hakim yang telah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap dan gratifikasi." Perbuatan para hakim dianggap tidak mendukung program pemerintah untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sidang ini menjadi sorotan publik karena menyangkut integritas sistem peradilan Indonesia dan keadilan bagi korban pembunuhan Ronald Tannur.
Vonis Bebas Ronald Tannur dan Dugaan Suap
Kasus ini bermula dari vonis bebas yang diberikan kepada Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan pada tahun 2024. Ketiga hakim nonaktif PN Surabaya diduga menerima suap sebesar Rp4,67 miliar (termasuk Rp1 miliar dan 308.000 dolar Singapura) dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat. Suap tersebut diduga sebagai imbalan atas vonis bebas yang diberikan kepada Tannur.
Selain suap, ketiga hakim juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Besaran total suap dan gratifikasi yang diterima masih dalam proses penyelidikan dan pembuktian di pengadilan.
JPU mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan dalam menjatuhkan tuntutan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan para hakim yang dinilai tidak mendukung program pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, serta mencederai kepercayaan publik terhadap MA. Heru Hanindyo juga dianggap tidak kooperatif dan tidak mengakui perbuatannya.
Hal-Hal yang Meringankan Tuntutan
Sementara itu, hal yang meringankan adalah ketiga hakim belum pernah dihukum sebelumnya. Erintuah Damanik dan Mangapul dinilai kooperatif, mengakui perbuatannya, dan memberikan keterangan yang mendukung pembuktian dalam perkara lain. Keduanya juga mengembalikan uang yang diterima dari Lisa Rachmat, masing-masing 115.000 dolar Singapura dan 36.000 dolar Singapura, sehingga mendapatkan hukuman yang lebih ringan dibandingkan Heru.
Perbuatan para terdakwa diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sidang selanjutnya akan menentukan keputusan pengadilan atas tuntutan JPU terhadap ketiga hakim nonaktif tersebut.
Kasus ini menjadi pengingat penting tentang perlunya reformasi dan peningkatan integritas di lembaga peradilan Indonesia. Kepercayaan publik terhadap sistem peradilan sangat penting untuk penegakan hukum yang adil dan efektif. Proses hukum yang transparan dan akuntabel diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak dan mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.