Transisi Energi Terus Berlanjut Meski AS Keluar dari Perjanjian Paris
Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, meyakini transisi energi di Indonesia tetap berjalan meskipun AS menarik diri dari Perjanjian Paris, namun perlu evaluasi dampaknya terhadap pendanaan proyek.
Transisi energi tetap menjadi fokus utama, meskipun Amerika Serikat (AS) menarik diri dari Perjanjian Paris. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua MPR, Eddy Soeparno, di Jakarta, Kamis (24/1).
Soeparno menjelaskan bahwa industri energi akan terus melanjutkan proyek transisi energi karena desakan pemegang saham dan lembaga keuangan. Mereka melihat transisi energi sebagai suatu keharusan, bukan sekadar pilihan.
Indonesia sendiri, tegas Soeparno, tetap berkomitmen terhadap transisi energi. Tujuannya jelas: mengurangi impor minyak dan gas serta mengembangkan sumber energi domestik. Langkah ini penting untuk ketahanan energi nasional.
Namun, kebijakan AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump perlu dikaji ulang. Salah satu program yang berpotensi terdampak adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Program ini sebagian besar dibiayai oleh AS.
Soeparno mempertanyakan komitmen AS setelah penarikan dari Perjanjian Paris. "Apakah Amerika Serikat akan menarik komitmennya, membekukan, menunda, atau apa? Saya pikir JETP perlu dipertimbangkan secara serius karena pemerintah AS telah memutuskan untuk keluar (dari Perjanjian Paris)," ujarnya.
JETP sendiri bertujuan untuk memobilisasi investasi guna meningkatkan produksi energi terbarukan di Indonesia. Sasarannya antara lain mengurangi emisi, memperkuat jaringan listrik, meningkatkan keamanan energi, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan ekonomi energi bersih.
Melalui JETP, US International Development Finance Corporation (DFC) telah berkomitmen memberikan pendanaan sebesar US$1 miliar untuk mempercepat inisiatif energi bersih di Indonesia. Penarikan AS dari Perjanjian Paris berpotensi menyebabkan penundaan atau pengurangan pendanaan ini.
Keputusan AS untuk keluar dari Perjanjian Paris, yang pertama kali diumumkan pada masa jabatan pertama Trump, dianggapnya sebagai perjanjian yang tidak adil dan merugikan. Perjanjian Paris sendiri bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, bahkan berupaya untuk membatasi hingga 1,5 derajat Celcius.
Meskipun ada tantangan akibat keputusan AS, komitmen Indonesia terhadap transisi energi tetap kuat. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan mencari solusi untuk mengatasi potensi kendala pendanaan yang mungkin muncul.