Tukin Dosen segera Cair, Berdampak Besar pada Kualitas Pendidikan Nasional?
Wakil Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono, mengingatkan pentingnya pencairan tunjangan kinerja dosen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, meskipun masih ada kendala dalam implementasinya.
Wakil Ketua MPR RI, Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), menyampaikan keprihatinan dan sekaligus harapannya terkait pencairan tunjangan kinerja (tukin) dosen di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi kebangsaan bertema "Dosen Sejahtera, Riset Bermakna, Pendidikan Berkualitas", di Jakarta pada Senin (3/3). Ibas menekankan bahwa pencairan tukin dosen yang tepat waktu dan merata sangat krusial bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Keterlambatan dan ketimpangan dalam pencairan tukin dinilai berdampak signifikan pada motivasi dan kesejahteraan dosen.
Ibas menjelaskan bahwa kesejahteraan dosen yang memadai akan berdampak positif pada kualitas pendidikan. Motivasi dosen dalam mendidik generasi muda Indonesia akan meningkat pesat jika kesejahteraan mereka terpenuhi. Namun, realitanya, masih banyak kendala dalam proses pencairan tukin, termasuk keterlambatan pembayaran, ketimpangan antara dosen di Kemendikbud dan Kemenag, serta ketidakmerataan bagi dosen yang belum tersertifikasi. Hal ini menjadi perhatian serius yang perlu segera diatasi.
Perbandingan gaji dosen di Indonesia dengan negara lain seperti Australia (Rp90 juta), Singapura (Rp70 juta), dan Jepang (Rp40 juta) menunjukkan kesenjangan yang cukup signifikan. Bahkan, Filipina dan Vietnam, negara tetangga di ASEAN, memiliki gaji dosen yang lebih tinggi daripada Indonesia, yaitu Rp6,9 juta dan Rp6,5 juta. Kondisi ini menjadi sorotan penting yang perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah.
Kendala dan Solusi Pencairan Tukin Dosen
Ibas mengakui bahwa tidak ada yang salah dengan aturan tukin dosen itu sendiri. Permasalahan utama terletak pada kelalaian dalam penganggaran pada periode sebelumnya. Namun, kabar baiknya, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, telah menyatakan komitmennya untuk memfokuskan pembayaran tukin dosen tahun ini dengan anggaran sebesar Rp2,5 triliun yang telah disetujui oleh Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan.
Penting untuk diingat bahwa peningkatan kesejahteraan dosen tidak hanya bergantung pada tukin saja. Ibas mendorong adanya perhatian berkelanjutan terhadap kesejahteraan dosen, termasuk mereka yang belum tersertifikasi. Hal ini sejalan dengan Empat Pilar Kebangsaan dan visi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemberian tukin dosen harus dilihat sebagai bagian integral dari upaya pembangunan pendidikan nasional yang lebih baik dan selaras dengan cita-cita Pancasila.
Pemerintah, lanjut Ibas, juga perlu memperhatikan kesejahteraan profesi lain seperti TNI, Polri, dan ASN. Ia berharap dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus meningkat, pemerintah dapat merevisi kebijakan untuk mengurangi kesenjangan kesejahteraan dosen dan meningkatkan kualitas pengajaran di perguruan tinggi Indonesia.
Kerja Sama Semua Pihak untuk Kesejahteraan Dosen
Ibas menegaskan bahwa peningkatan kesejahteraan dosen bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata. Ia menekankan pentingnya kolaborasi dan kerja sama dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk akademisi, sektor swasta, dan masyarakat. Upaya bersama ini sangat dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik dan mendukung dosen dalam menjalankan tugasnya secara optimal.
Dengan demikian, pencairan tukin dosen yang tepat waktu dan merata diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, keberhasilannya memerlukan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak, tidak hanya pemerintah, tetapi juga seluruh pemangku kepentingan terkait.
Kesimpulan: Pemberian tunjangan kinerja dosen merupakan langkah penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, keberhasilannya membutuhkan komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak untuk mengatasi kendala yang ada dan memastikan pencairan yang tepat waktu serta merata.