Pemerintah Siap Bahas RUU Kepariwisataan: Revisi UU No. 10 Tahun 2009
Menteri Pariwisata siap bahas RUU Kepariwisataan bersama DPR, revisi UU No. 10 Tahun 2009, fokus pada pendidikan, istilah wisatawan, dan diplomasi budaya.
Jakarta, 12 Maret 2024 - Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, menyatakan kesiapan pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepariwisataan bersama Komisi VII DPR RI. Pembahasan ini bertujuan merevisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Proses revisi ini melibatkan tujuh Kementerian/Lembaga (K/L) pemerintah dan difokuskan pada beberapa poin penting, termasuk pendidikan pariwisata, definisi wisatawan, serta diplomasi budaya.
Dalam rapat koordinasi daring Selasa lalu, Menteri Widiyanti menjelaskan bahwa koordinasi antar K/L telah menghasilkan kesepakatan untuk membahas poin-poin yang perlu diperbaiki dalam RUU tersebut. Pemerintah tetap berpedoman pada Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah diserahkan kepada DPR sebelumnya. DIM ini merinci tanggapan pemerintah terhadap setiap poin pembahasan, dengan total 1.508 DIM yang mencakup seluruh bagian RUU, dari preambule hingga penjelasan.
Beberapa isu krusial yang dibahas meliputi penambahan materi pendidikan dalam RUU, perdebatan mengenai istilah yang tepat untuk menyebut pelaku wisata, dan pengaturan diplomasi budaya dalam konteks kepariwisataan. Pemerintah menekankan pentingnya sinkronisasi regulasi dan menghindari tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
Pendidikan Pariwisata: Perlukah Aturan Baru?
RUU Inisiatif DPR mengusulkan penambahan Bab IV-B tentang pendidikan pariwisata. Namun, pemerintah berpendapat hal ini tidak perlu karena pendidikan nasional telah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pelaksanaannya. Menteri Widiyanti menjelaskan, "Sehingga peraturan pendidikan berpotensi tumpang tindih bila diatur dalam RUU Kepariwisataan." Pemerintah mengusulkan agar materi terkait pengembangan sumber daya manusia pariwisata diakomodasi dalam pasal yang sudah ada, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah berpendapat bahwa pengaturan pendidikan pariwisata dalam RUU Kepariwisataan berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada. Materi terkait pengembangan SDM pariwisata dapat diintegrasikan ke dalam pasal yang relevan tanpa perlu menambah bab baru. Hal ini akan memastikan efisiensi dan menghindari duplikasi aturan.
Dengan demikian, usulan penambahan Bab IV-B tentang pendidikan dalam RUU Kepariwisataan ditolak oleh pemerintah. Pemerintah berpendapat bahwa regulasi yang sudah ada cukup untuk mengatur pendidikan pariwisata.
Definisi Wisatawan: Satu Istilah yang Tepat
RUU Inisiatif DPR mengusulkan penggunaan istilah "pengunjung" sebagai pengganti atau tambahan istilah "wisatawan". Namun, pemerintah berpendapat bahwa satu istilah, yaitu "wisatawan", sudah cukup dan lebih efektif. Menteri Widiyanti menjelaskan bahwa penambahan istilah akan memperluas cakupan, berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan peraturan lain, dan bahkan menimbulkan hal-hal yang belum diatur.
Pemerintah juga mempertimbangkan praktik internasional dan keselarasan dengan dokumen perencanaan nasional, seperti Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045. Penggunaan istilah "wisatawan" yang konsisten di berbagai sektor akan menghindari ketidaksinkronan dan memastikan implementasi yang efektif.
Oleh karena itu, pemerintah tetap mempertahankan penggunaan istilah "wisatawan" dan menolak penambahan istilah lain seperti "pengunjung" atau "pelancong" dalam RUU Kepariwisataan.
Diplomasi Budaya: Sinkronisasi dengan Regulasi Terdahulu
RUU Inisiatif DPR juga mengusulkan penambahan Bab IV-E tentang diplomasi budaya. Namun, pemerintah berpendapat hal ini tidak perlu karena diplomasi budaya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, khususnya Pasal 35. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemerintah dapat melakukan diplomasi budaya untuk meningkatkan peran Indonesia di kancah internasional.
Pemerintah berpendapat bahwa penambahan bab baru tentang diplomasi budaya akan menimbulkan tumpang tindih dan potensi konflik kewenangan dengan regulasi yang sudah ada. Oleh karena itu, pemerintah mengusulkan agar Bab IV-E dihapus dari RUU Kepariwisataan.
Dengan demikian, pemerintah menolak usulan penambahan bab tentang diplomasi budaya dalam RUU Kepariwisataan, karena hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Kesimpulannya, pemerintah dan DPR akan terus berkoordinasi untuk membahas RUU Kepariwisataan. Beberapa poin penting yang menjadi fokus pembahasan adalah pendidikan pariwisata, definisi wisatawan, dan diplomasi budaya. Pemerintah menekankan pentingnya sinkronisasi regulasi dan menghindari tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan yang sudah ada.