Aktor "Pengepungan di Bukit Duri" Ungkap Resah Lewat Peran: Trauma Generasional hingga Sistem Rusak
Para pemain film "Pengepungan di Bukit Duri" mengungkapkan keresahan mereka terhadap isu sosial Indonesia, mulai dari trauma turun-temurun hingga sistem yang rusak, lewat peran yang mereka mainkan.

Film "Pengepungan di Bukit Duri" yang baru saja tayang, tak hanya menyajikan cerita menegangkan, tetapi juga menjadi wadah bagi para aktor untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap berbagai isu sosial di Indonesia. Morgan Oey, Omara N. Esteghlal, dan Hana Malasan, tiga aktor utama dalam film tersebut, berbagi perspektif mereka tentang realita yang tercermin dalam film dan bagaimana peran mereka menjadi perpanjangan suara dari kegelisahan yang selama ini mereka rasakan.
Morgan Oey, pemeran Edwin, mengungkapkan bahwa film ini sangat relevan dengan isu trauma turun-temurun. Ia menyatakan, "Ternyata efek dari kejadian masa lalu itu benar-benar generational. Dan budaya kekerasan, itu juga masih sangat relate. Dari zaman saya sekolah sampai sekarang, masih terus ada. Kita bahkan bisa lihat sendiri lewat media sosial." Peran Edwin, bagi Morgan, mencerminkan keresahannya terhadap kekerasan yang terus terjadi pada remaja dan akar permasalahan yang kompleks.
Sementara itu, Omara N. Esteghlal yang memerankan Jefri, menyoroti budaya pasrah masyarakat terhadap sistem yang sudah rusak. Ia mengkritik kecenderungan menyalahkan keadaan tanpa mau bertanggung jawab sebagai bagian dari sistem itu sendiri. Omara mengungkapkan, "Kita diajarkan menghormati sistem yang sebetulnya tak layak dihormati. Budaya feodal masih sangat kuat, dan tanpa sadar kita jadi budak dari sistem rusak itu. Mau berekspresi pun susah, padahal katanya kita punya suara sebagai rakyat." Baginya, peran Jefri menggambarkan frustrasi generasi muda yang ingin perubahan namun terbentur sistemik.
Trauma Generasional dan Budaya Kekerasan
Morgan Oey, dalam perannya sebagai Edwin, secara gamblang menggambarkan dampak trauma turun-temurun yang masih relevan hingga saat ini. Ia melihat budaya kekerasan yang masih bercokol di masyarakat, bahkan terlihat jelas di media sosial. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya masalah kekerasan dan betapa sulitnya memberantasnya jika akar permasalahannya tidak diatasi.
Pengalaman pribadi Morgan dalam menyaksikan kekerasan di lingkungan sekitar turut mewarnai perannya. Ia mampu mengekspresikan keresahannya akan realita sosial yang masih jauh dari ideal, khususnya menyangkut kekerasan yang menimpa generasi muda.
Film ini menjadi medium bagi Morgan untuk menyampaikan pesan penting tentang pentingnya memutus mata rantai kekerasan dan trauma turun-temurun agar generasi mendatang dapat hidup lebih aman dan damai.
Sistem Rusak dan Budaya Pasrah
Omara N. Esteghlal, sebagai Jefri, mengangkat isu kritis tentang budaya pasrah dalam masyarakat Indonesia. Ia menyoroti bagaimana masyarakat cenderung menerima sistem yang sudah rusak tanpa melakukan perlawanan atau perubahan. Sikap pasrah ini, menurut Omara, memperkuat sistem yang tidak adil dan merugikan rakyat.
Omara juga mengkritik budaya feodal yang masih kuat di masyarakat. Budaya ini, menurutnya, membuat masyarakat menjadi budak dari sistem yang rusak dan sulit untuk berekspresi atau menyuarakan pendapat. Ia merasa frustrasi melihat generasi muda yang ingin melakukan perubahan, namun terhambat oleh sistem yang kaku dan tidak responsif.
Melalui perannya sebagai Jefri, Omara ingin mengajak penonton untuk lebih kritis terhadap sistem yang ada dan berani untuk melakukan perubahan demi menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Guru sebagai Korban Sistem Pendidikan
Hana Malasan, yang memerankan Guru Diana, turut menyuarakan keresahannya terhadap dunia pendidikan. Sebagai individu yang berasal dari keluarga akademisi, Hana merasa dekat dengan peran tersebut dan mampu mengekspresikan keresahannya terhadap sistem pendidikan yang seringkali menjadikan guru sebagai kambing hitam.
Hana mengungkapkan bahwa melalui karakter Diana, ia ingin menyuarakan keresahan kolektif para pendidik yang selama ini terbungkam. Ia melihat bagaimana guru seringkali diposisikan sebagai pihak yang salah ketika sistem pendidikan mengalami kegagalan, padahal mereka juga merupakan korban dari sistem tersebut.
Hana berharap film ini dapat menjadi ruang diskusi tentang permasalahan pendidikan dan mendorong perubahan sistem yang lebih berpihak pada guru dan murid.
Ketiga aktor sepakat bahwa "Pengepungan di Bukit Duri" bukan sekadar film hiburan, melainkan ajakan untuk membongkar luka-luka sosial yang selama ini tersembunyi. Mereka berharap penonton dapat merefleksikan kondisi bangsa dan bersama-sama membangun kesadaran akan pentingnya perubahan. "Guru itu seringkali diposisikan salah saat sistem pendidikan gagal, padahal mereka juga korban. Mereka ingin menolong, ingin memperbaiki, tapi dibatasi sistem. Dan film ini bisa menjadi ruang diskusi soal itu," ujar Hana.