Alihkan Ekspor Crude: Langkah Strategis atau Risiko Ekonomi?
Kebijakan pemerintah mengalihkan ekspor minyak mentah untuk diolah dalam negeri bertujuan mengurangi ketergantungan geopolitik, namun perlu perhitungan matang terkait dampak ekonomi dan kesiapan infrastruktur.

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, baru-baru ini mengumumkan kebijakan pengalihan ekspor minyak mentah Indonesia untuk diolah di dalam negeri. Kebijakan ini, yang diumumkan menjelang 100 hari Kabinet Merah Putih, bertujuan mengurangi ketergantungan pada situasi geopolitik global yang fluktuatif.
Langkah ini dipicu oleh berbagai faktor, terutama ketidakpastian harga minyak dunia. Ekonom Energi Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menjelaskan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap fluktuasi harga impor akibat ketidakpastian geopolitik. Ia mencontohkan keinginan Presiden AS Donald Trump untuk menekan harga minyak hingga US$74 per barel yang menimbulkan kekhawatiran terhadap harga jual minyak mentah Indonesia di pasar internasional.
Yayan berpendapat, daripada menjual minyak mentah dengan harga murah, lebih baik memanfaatkannya untuk kebutuhan dalam negeri. Hal ini semakin relevan mengingat produksi minyak mentah Indonesia yang terus menurun. Namun, ia mengingatkan perlunya perhitungan ulang dampak penurunan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) jika ekspor minyak mentah dihentikan.
Saat ini, kemampuan suplai minyak mentah dalam negeri hanya sekitar 40 persen, sisanya masih bergantung pada impor. Ekspor minyak mentah berkontribusi 10-15 persen terhadap devisa negara. Mengalihkan ekspor ke dalam negeri, menurut Yayan, berpotensi menimbulkan kerugian dari sisi ekonomi perdagangan.
Oleh karena itu, Yayan menyarankan agar kebijakan ini diterapkan secara bertahap. Pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap pendapatan negara, stabilitas harga BBM dalam negeri, dan kesiapan infrastruktur kilang domestik. Kilang-kilang di Indonesia, selama ini, lebih banyak didesain untuk mengolah minyak mentah dari Timur Tengah, bukan minyak mentah Indonesia yang memiliki kadar sulfur rendah.
Pengembangan infrastruktur kilang menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Yayan menekankan pentingnya Pertamina melakukan due diligence, menyelesaikan proyek Refinery Development Master Plan (RDMP), dan menghitung ulang kebutuhan pengalihan ekspor minyak mentah secara efisien. Hal ini penting untuk memastikan transisi yang lancar dan meminimalkan dampak negatif.
Menteri Bahlil sendiri menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan langkah penting dalam mencapai swasembada energi dan menunjukkan komitmen pemerintah dalam meningkatkan kemandirian energi nasional. Ekspor minyak mentah ke depannya akan dioptimalkan agar pemanfaatannya di kilang dalam negeri menjadi maksimal. Minyak mentah dari kontraktor yang tidak sesuai spesifikasi pun akan diolah dan dicampur untuk memenuhi standar kilang domestik.