Bau Nyale di Lombok: Tradisi Unik yang Memperkuat Ikatan Sosial
Ribuan warga Lombok Tengah mengikuti tradisi Bau Nyale, menangkap cacing laut Palola viridis, yang memperkuat ikatan sosial dan melestarikan budaya.

Sekitar pukul 03.41 WITA, Saumin duduk di Pantai Tampah, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, menunggu tradisi Bau Nyale. Ribuan orang telah turun ke laut untuk menangkap nyale atau cacing laut Palola viridis. Tradisi ini, yang berlangsung pada 18 dan 19 Februari 2025, merupakan bagian integral dari budaya Suku Sasak dan diyakini terkait dengan legenda Putri Mandalika. Perburuan nyale, yang berlangsung sekitar 1,5 jam menjelang matahari terbit, merupakan perpaduan unik antara fenomena alam dan praktik budaya.
Saumin mengingat masa kecilnya di tahun 70-an, saat hanya laki-laki yang berburu nyale. Perjalanan panjang dan berbahaya menuju pantai membuat perempuan dan anak-anak perempuan menunggu di rumah. Namun, saat ini, tradisi tersebut telah berubah. Semua kalangan berpartisipasi dalam perburuan nyale, menggunakan kendaraan bermotor dan lampu senter, yang membuat kegiatan ini lebih mudah diakses.
Meskipun kemudahan akses telah mengubah cara perburuan nyale, tradisi ini tetap menjadi momen penting bagi masyarakat Lombok. Bau Nyale bukan hanya sekadar menangkap cacing laut; ini merupakan perayaan budaya yang mempererat ikatan sosial dan melestarikan warisan leluhur. Perubahan ini, meskipun mengurangi aspek-aspek tradisional seperti nyanyian dan pantun, tidak mengurangi makna mendalam dari tradisi ini.
Tradisi Bau Nyale: Enkulturasi Budaya dan Perkembangannya
Buku 'Nyale di Lombok' (1982) karya Lalu Wacana menjelaskan bahwa Bau Nyale berfungsi sebagai sarana enkulturasi. Orang-orang dari berbagai daerah, bahkan di luar Lombok, datang untuk menyaksikan tradisi ini. Mereka tak hanya menyaksikan, tetapi juga secara tidak langsung terpengaruh oleh budaya setempat melalui cara berpakaian, sikap, dan perkataan. Anak-anak dan remaja yang ikut serta menyaksikan dan merasakan langsung proses tradisi ini, belajar tentang kesabaran dan kerja sama.
Perubahan aksesibilitas telah mempengaruhi tradisi ini. Dahulu, perjalanan jauh dan berbahaya dilakukan hanya oleh laki-laki, sementara perempuan menunggu di rumah. Kini, semua kalangan dapat berpartisipasi, dengan bantuan kendaraan bermotor dan penerangan lampu. Meskipun demikian, esensi dari tradisi ini tetap dipertahankan, yaitu sebagai momen untuk memperkuat ikatan sosial dan melestarikan budaya.
Meskipun perubahan teknologi dan aksesibilitas telah mengubah cara perburuan nyale, nilai-nilai sosial dan budaya yang terkandung di dalamnya tetap lestari. Tradisi ini terus menjadi media penting dalam enkulturasi nilai-nilai budaya Suku Sasak kepada generasi muda.
Bau Nyale: Penguat Solidaritas dan Kebersamaan
Joko Pamungkas dari BRIN, dalam jurnal 'Swarming Cacing Laut Polikhaeta (Annelida) di Indonesia' (2009), menjelaskan fenomena swarming nyale sebagai siklus hidup Polychaeta yang memijah secara massal. Peristiwa alam langka ini menarik perhatian banyak orang untuk menangkap nyale sebagai sumber pangan kaya protein.
Bau Nyale juga menjadi momen perjumpaan bagi masyarakat Suku Sasak. Mereka yang sibuk dengan pekerjaan bertani, berladang, atau berdagang dapat bertemu kembali dan mempererat silaturahmi. Lokasi penangkapan nyale yang tetap dari generasi ke generasi memperkuat rasa kekeluargaan dan kebersamaan.
Selama menunggu nyale, warga saling berbincang, berbagi cerita, dan memperkuat ikatan sosial. Momen ini menjadi kesempatan untuk merekatkan kembali kehangatan keluarga yang mungkin terabaikan karena kesibukan pekerjaan sehari-hari. Bau Nyale bukan sekadar tradisi tahunan, tetapi juga perekat sosial yang memperkuat solidaritas dan kebersamaan.
Tradisi Bau Nyale di Lombok merupakan perpaduan unik antara fenomena alam, praktik budaya, dan nilai-nilai sosial. Tradisi ini terus beradaptasi dengan perkembangan zaman, namun tetap mempertahankan esensinya sebagai penguat ikatan sosial dan pelestari budaya Suku Sasak.