Biomassa: Pilar Ekonomi Kerakyatan Baru di NTB, Ciptakan Ribuan Lapangan Kerja
Program co-firing di PLTU Jeranjang, NTB, telah menciptakan peluang ekonomi baru berbasis biomassa, memberdayakan masyarakat dan meningkatkan taraf hidup mereka.

Mataram, 15 Mei 2025 - Pemanfaatan biomassa melalui program co-firing di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah muncul sebagai pilar baru dalam membangun ekonomi kerakyatan. Program ini tidak hanya menghasilkan energi hijau, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar.
Program ini menjawab pertanyaan apa (pemanfaatan biomassa untuk energi dan ekonomi), siapa (masyarakat NTB, petani, buruh, hingga mantan pekerja migran), di mana (PLTU Jeranjang, Lombok Barat, NTB), kapan (saat ini, dengan target 35.200 ton biomassa pada tahun 2025), mengapa (untuk menciptakan ekonomi kerakyatan dan energi hijau), dan bagaimana (melalui program co-firing dan pemberdayaan masyarakat).
Manajer Unit Bisnis Pembangkit PLTU Jeranjang, Yunisetya Ariwibawa, mengungkapkan bahwa dampak sosial program ini sangat signifikan. "Kebutuhan biomassa PLTU Jeranjang rata-rata masih dari masyarakat sekitar. Itu dampak sosialnya cukup baik karena memberikan peluang kerja," ujarnya.
Program Co-firing dan Ekonomi Kerakyatan
Masyarakat sekitar PLTU Jeranjang berperan aktif dalam rantai pasok biomassa, mulai dari petani yang menyediakan bahan baku hingga buruh yang mengolah dan mengangkutnya. Proses ini melibatkan berbagai lapisan masyarakat, termasuk petani, pabrik kayu, supir truk, operator mesin pencacah, dan buruh pemilah. Mereka bekerja sama menghasilkan serbuk kayu (sawdust) dan kayu cacah (woodchip) yang kemudian dicampur dengan batu bara di PLTU.
Hingga 13 Mei 2025, PLTU Jeranjang telah menggunakan 14.621 ton biomassa, menghasilkan listrik hijau setara 11.021 megawatt-jam. Target penggunaan biomassa sepanjang tahun ini mencapai 35.200 ton, dengan target produksi listrik hijau sebesar 28.847 megawatt-jam. PLTU Jeranjang sendiri merupakan salah satu penyuplai listrik utama di Pulau Lombok, dengan kapasitas terpasang 3 x 25 megawatt.
Direktur PT Syahroni Rezeki Mandiri, Syamsul Hadi, menambahkan bahwa pabriknya mampu memperkerjakan 300 orang, sebagian besar warga sekitar. "Biomassa menciptakan lapangan pekerjaan baru. Orang-orang yang bekerja bukan hanya laki-laki, anak muda kuat, tetapi juga ada orang tua, ibu rumah tangga, atau nenek-nenek bisa kami berdayakan," jelasnya.
Upah yang Menguntungkan
Para pekerja di sektor biomassa ini menerima upah yang bahkan lebih tinggi daripada Upah Minimum Daerah (UMD). Supir truk misalnya, mendapatkan Rp75.000 sekali jalan, dan beberapa mampu melakukan empat perjalanan dalam sehari, menghasilkan Rp300.000. Upah pencacah borongan mencapai Rp300.000 per truk, sementara pekerja yang mengemas serbuk kayu mendapatkan Rp2.500 per karung, dengan potensi mengemas hingga 80 karung per hari.
Suhaidi (46 tahun), mantan pekerja migran Indonesia yang pernah bekerja di Malaysia, kini menjadi salah satu pekerja biomassa. Ia pulang ke Lombok karena terkendala usia, dan kini mendapatkan penghasilan yang cukup untuk menghidupi keluarganya. "Alhamdulillah cukup untuk keluarga. Kalau dapat empat perjalanan antar biomassa dapat Rp300.000. Di sini kadang saya ambil ke sawmill bisa dapat Rp400.000 setiap hari," tuturnya.
Kisah Suhaidi menjadi bukti nyata bagaimana program co-firing biomassa telah memberikan dampak positif bagi perekonomian masyarakat NTB, menciptakan lapangan kerja yang layak, dan meningkatkan taraf hidup mereka. Program ini menunjukkan potensi besar biomassa sebagai pilar ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan.
Program ini juga memberikan kontribusi terhadap lingkungan dengan menghasilkan energi hijau. Keberhasilan program ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan berbasis sumber daya lokal yang ramah lingkungan.