BPR Tolak Penggabungan Paksa: Minta Pengembangan Bisnis Sesuai Kebutuhan
Direktur Utama BPR Nusantara Bona Pasogit meminta pembatalan kewajiban penggabungan BPR karena berpotensi menimbulkan dampak negatif pada perekonomian daerah dan pengangguran.

Jakarta, 19 Maret 2024 (ANTARA) - Direktur Utama Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nusantara Bona Pasogit (NBP), Hendi Apriliyanto, mewakili berbagai BPR di Indonesia, menyuarakan penolakan terhadap penggabungan BPR secara paksa. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR-RI di Jakarta, Rabu, ia menekankan bahwa pengembangan BPR harus didasarkan pada analisis dan kebutuhan bisnis, bukan paksaan dari pihak manapun.
Hendi meminta pembatalan kewajiban penggabungan BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 100, Pasal 130, dan Pasal 131 POJK Nomor 7 Tahun 2024 tentang Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah. Ia berpendapat bahwa penggabungan paksa akan berdampak signifikan terhadap karakteristik dan pengelolaan BPR yang selama ini beroperasi di tingkat daerah.
Lebih lanjut, ia menjelaskan potensi dampak negatif dari penggabungan paksa, termasuk pengurangan tenaga kerja dan dampak terhadap perekonomian daerah. "Hal ini tentu menyebabkan dampak negatif perekonomian di daerah tersebut," tegas Hendi.
Dampak Negatif Penggabungan BPR Secara Paksa
Hendi memaparkan beberapa poin penting terkait dampak negatif penggabungan BPR secara paksa. Pertama, penggabungan paksa berpotensi menyebabkan pengurangan tenaga kerja, mulai dari direksi dan komisaris hingga karyawan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan angka pengangguran.
Kedua, hal ini berdampak pada perekonomian daerah. Pemerintah daerah berharap agar uang yang berasal dari daerah tetap berputar di wilayahnya. Penggabungan paksa, khususnya jika melibatkan Pemilik Saham Pengendali (PSP) yang sama, berpotensi memindahkan dana dari daerah ke kantor pusat BPR hasil penggabungan.
Ketiga, Hendi mempertanyakan dasar hukum Pasal 100 dan Pasal 130 POJK tersebut. Ia menyatakan tidak menemukan amanat dalam Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) yang mengatur penggabungan atau peleburan BPR dalam satu wilayah pulau atau kepulauan utama. Tidak ada pula POJK khusus yang mengatur penggabungan BPR dengan kepemilikan PSP yang sama dalam satu wilayah.
Perbandingan dengan Kebijakan SPP Bank Umum
Hendi juga membandingkan situasi ini dengan POJK No. 39/POJK.03/2017 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Bank Umum), yang menerapkan Single Presence Policy (SPP). Ia mempertanyakan apakah kebijakan SPP untuk bank umum tersebut pun telah sesuai dengan landasan hukum yang kuat.
Ia menekankan bahwa kebijakan SPP bank umum, yang membatasi satu bank dan satu PSP per wilayah, hanya berlaku untuk bank umum dan tidak dapat diterapkan secara langsung pada BPR. Lebih lanjut, ia mempertanyakan dasar hukum dari kebijakan tersebut.
Menurutnya, "Seharusnya aksi korporasi untuk melakukan penggabungan atau peleburan tidak boleh dipaksakan, karena hal itu harus dilakukan sesuai dengan analisa bisnis/kebutuhan semata (secara alamiah), baik karena kebutuhan akan pemenuhan permodalan, kebutuhan akan peningkatan daya saing dan kebutuhan lainnya yang relevan dalam bisnis," pungkas Hendi.
Kesimpulannya, BPR meminta agar pengembangan bisnis dilakukan secara organik, berdasarkan kebutuhan dan analisis bisnis, bukan berdasarkan paksaan. Hal ini penting untuk menjaga keberlangsungan BPR, perekonomian daerah, dan lapangan kerja.