BRIN Dorong Penataan Ulang Orientasi Pendidikan untuk Jaga Integritas
Kepala Pusat Riset Pendidikan BRIN, Trina Fizzanty, mendorong penataan ulang orientasi pendidikan di Indonesia untuk mengatasi masalah kecurangan dan membangun karakter siswa.

Kasus kecurangan dalam UTBK 2025 menjadi sorotan, mendorong Kepala Pusat Riset Pendidikan BRIN, Trina Fizzanty, untuk menyoroti perlunya penataan ulang orientasi pendidikan di Indonesia. Berbagai kasus kecurangan tersebut, terjadi di Jakarta dan sekitarnya, memperlihatkan tantangan serius dalam hal moral, karakter, dan integritas di dunia pendidikan. Menurut Trina, hal ini menunjukkan pembangunan karakter dan nilai-nilai pada anak didik masih belum berhasil.
Trina Fizzanty menekankan bahwa fokus pendidikan tidak hanya pada capaian akademik dan persaingan semata. "Untuk menciptakan iklim pendidikan karakter dan nilai-nilai yang kondusif, kita perlu menata ulang orientasi pendidikan. Tidak hanya mengejar hasil, tetapi juga memuliakan proses," ujarnya dalam pernyataan di Jakarta, Kamis lalu. Ia menambahkan bahwa penekanan pada prestasi akademik seringkali mengesampingkan nilai-nilai kejujuran dan integritas, yang bukan semata-mata kesalahan peserta didik.
Ia menjelaskan perlunya membangun budaya belajar yang sehat sejak dini, dengan guru dan orang tua sebagai teladan utama dalam integritas. Konsekuensi yang jelas dan adil terhadap ketidakjujuran juga perlu diterapkan. Sekolah, menurut Trina, harus menjadi tempat yang tidak hanya mengajarkan materi, tetapi juga melatih empati, tanggung jawab, keberanian moral, dan nilai-nilai karakter lainnya. "Sekolah perlu difokuskan untuk membangun habituasi penanaman nilai-nilai karakter," tegasnya.
Membangun Integritas dari Rumah dan Masyarakat
Tanggung jawab membangun integritas tidak hanya berada di pundak sekolah. Trina Fizzanty menekankan peran orang tua, pemimpin, dan tokoh masyarakat dalam memberikan contoh perilaku berkarakter baik. "Rendahnya moral anak-anak tidak bisa semata-mata ditujukan kepada lembaga pendidikan saja. Masyarakat, khususnya para pemimpin dan tokoh, turut memberikan kontribusi nyata terhadap kondisi ini. Ingat bahwa pendidikan—khususnya pendidikan karakter—merupakan tanggung jawab bersama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa sistem seleksi masuk perguruan tinggi perlu dikaji ulang agar tidak menimbulkan tekanan yang mendorong kecurangan. Sistem seleksi yang lebih holistik, yang menggabungkan penilaian akademik dengan rekam jejak karakter dan keterlibatan sosial, disarankan. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan calon mahasiswa yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki akhlak mulia.
Dengan demikian, proses seleksi diharapkan dapat menghasilkan calon pemimpin masa depan yang berintegritas. "Dengan cara seperti ini, yang lolos menjadi calon mahasiswa tidak hanya pintar otaknya, tetapi memiliki akhlak mulia. Inilah calon pemimpin masa depan, dan saya optimis generasi emas tahun 2045 akan tercapai," ucap Trina Fizzanty.
Sistem Seleksi yang Lebih Holistik
Trina Fizzanty menyarankan agar sistem seleksi masuk perguruan tinggi dikaji ulang. Sistem yang terlalu kompetitif dan menekankan aspek akademis saja dapat memicu tekanan pada siswa, sehingga mendorong mereka untuk melakukan kecurangan. Oleh karena itu, penilaian yang lebih komprehensif, yang mempertimbangkan aspek karakter dan rekam jejak sosial, sangat penting.
Sistem seleksi yang lebih holistik ini diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan moral yang tinggi. Hal ini sejalan dengan upaya untuk membangun generasi emas Indonesia di tahun 2045.
Dengan mengintegrasikan penilaian karakter dan aktivitas sosial, proses seleksi diharapkan dapat menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi kepemimpinan dan komitmen untuk berkontribusi bagi masyarakat. Ini merupakan langkah penting dalam membangun generasi penerus bangsa yang berkarakter dan berintegritas.
Kesimpulan
Perbaikan sistem pendidikan di Indonesia membutuhkan pendekatan holistik yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari keluarga, sekolah, hingga masyarakat luas. Membangun karakter dan integritas siswa sejak dini merupakan kunci untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang berakhlak mulia dan mampu menghadapi tantangan masa depan.