Celios: Intensifikasi Lahan, Kunci Peningkatan Produksi Sawit Indonesia
Celios menyarankan intensifikasi lahan dan peningkatan teknologi untuk meningkatkan produksi sawit Indonesia, mengatasi rendahnya produktivitas dan menghadapi regulasi Uni Eropa terkait deforestasi.

Celios, lembaga riset terkemuka, baru-baru ini mengungkapkan solusi untuk meningkatkan produksi sawit Indonesia: intensifikasi lahan dan peningkatan teknologi pertanian. Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menjelaskan bahwa rendahnya produktivitas lahan sawit menjadi masalah utama. Saat ini, rata-rata produktivitas hanya 12,8 ton tandan buah segar (TBS) per hektar, jauh di bawah Malaysia yang mencapai 19 ton per hektar.
Mengapa intensifikasi lahan menjadi penting? Bhima menjelaskan bahwa di tengah perang dagang global, sawit Indonesia rentan terhadap proteksionisme negara maju. Regulasi Uni Eropa terkait deforestasi (EUDR), yang berlaku akhir 2024, semakin mendesak perlunya peningkatan produktivitas tanpa perlu perluasan lahan. EUDR mewajibkan perusahaan mengekspor komoditas ke Eropa untuk memastikan rantai pasokan mereka ramah lingkungan.
Lalu bagaimana strategi intensifikasi lahan ini dijalankan? Celios telah melakukan kajian terkait kebijakan moratorium sawit dan program replanting. Hasilnya menunjukkan potensi ekonomi yang signifikan pada 2045: peningkatan output ekonomi Rp28,9 triliun, PDB Rp28,2 triliun, pendapatan masyarakat Rp28 triliun, surplus usaha Rp16,6 triliun, penerimaan pajak bersih Rp165 miliar, ekspor Rp782 miliar, pendapatan tenaga kerja Rp13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja 761 ribu orang. Laporan lengkap studi ini dapat diakses di situs resmi Celios.
Meskipun ekspor sawit mungkin sedikit menurun akibat moratorium, Celios meyakini hal ini akan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar internasional yang semakin peduli lingkungan. Moratorium sawit sendiri telah diberlakukan sejak Inpres Nomor 8 Tahun 2018, yang ditandatangani pada 19 September 2018 dan berlaku hingga September 2021. Namun, rencana pemerintah memanfaatkan lahan hutan untuk pangan, energi, dan air, seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni (30 Desember 2024), perlu dikaji lebih lanjut.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University, Yanto Santosa, menambahkan bahwa sekitar 31,8 juta hektare kawasan hutan tidak berhutan atau terdegradasi dapat dimanfaatkan. Menurut beliau, pengembangan sawit di lahan tersebut tidak termasuk deforestasi, selama dilakukan di kawasan yang sudah rusak atau tidak berhutan. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam strategi intensifikasi lahan sawit.
Kesimpulannya, peningkatan produktivitas sawit Indonesia bukan hanya tentang meningkatkan jumlah produksi, tetapi juga tentang keberlanjutan lingkungan. Intensifikasi lahan dan teknologi pertanian, dikombinasikan dengan kebijakan moratorium yang bijak, merupakan kunci untuk mencapai tujuan ini. Hal ini juga penting untuk menghadapi persaingan global dan regulasi internasional yang semakin ketat.