CIPS: Teknologi Kunci Peningkatan Produksi Pertanian di Indonesia
CIPS merekomendasikan peningkatan produksi pertanian di Indonesia melalui adopsi teknologi dan reformasi kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi masalah ketahanan pangan.

Jakarta, 27 Februari 2024 - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) merekomendasikan kebijakan yang fokus pada peningkatan signifikan produktivitas pertanian di Indonesia, terutama melalui adopsi teknologi yang lebih merata. Hal ini disampaikan sebagai respon terhadap tantangan ketahanan pangan yang dihadapi Indonesia, khususnya terkait produksi beras. Rachmad Supriyanto, peneliti CIPS, menekankan pentingnya solusi jangka panjang yang tidak hanya bergantung pada intervensi harga, tetapi juga pada modernisasi pertanian dan efisiensi rantai pasok.
Meskipun pemerintah telah menyediakan bantuan berupa peralatan, mesin, dan varietas unggul baru, program-program ini masih perlu ditingkatkan. Rachmad menjelaskan bahwa peningkatan akses terhadap teknologi pertanian dapat dicapai melalui iklim kebijakan yang lebih ramah terhadap penanaman modal di sektor pertanian. Ia juga menambahkan bahwa peningkatan produksi pangan tidak selalu membutuhkan perluasan lahan (ekstensifikasi), tetapi dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas lahan yang sudah ada (intensifikasi).
Indonesia, menurut Rachmad, harus beralih dari fokus ekspansi lahan ke intensifikasi dan modernisasi pertanian untuk memastikan ketahanan pangan jangka panjang. Infrastruktur dan teknologi pertanian yang masih terbatas saat ini menyebabkan biaya produksi tinggi, sehingga harga pangan, khususnya beras, tetap mahal. Jika masalah ini tidak diatasi, pola kenaikan harga beras setiap tahun akan terus berulang.
Kebijakan Beras yang Komprehensif
Rachmad menjelaskan perlunya reformasi kebijakan beras yang lebih komprehensif. Kebijakan penetapan harga, seperti Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Panen (GKP), dinilai dapat mendistorsi pasar tanpa mengatasi masalah utama, yaitu rendahnya efisiensi proses produksi beras. HPP saat ini sebesar Rp6.500 per kilogram, naik dari Rp6.000 per kilogram sebelumnya, bertujuan melindungi petani, terutama saat panen raya. Namun, kebijakan ini juga berdampak pada pengelolaan stok beras nasional oleh Bulog yang harus bersaing dengan swasta dalam membeli GKP, GKG, dan beras giling dari petani.
Di sisi ritel, Bulog melakukan Operasi Pasar ketika harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Namun, upaya stabilisasi harga ini seringkali bersifat jangka pendek dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Rachmad menekankan bahwa solusi jangka panjang harus fokus pada modernisasi pertanian dan efisiensi rantai pasok. Permasalahan utama adalah ketidakseimbangan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) beras, di mana pertumbuhan penduduk yang cepat tidak diimbangi dengan peningkatan produksi beras yang memadai.
CIPS juga menyoroti pentingnya kesinambungan kebijakan seputar harga beras untuk menjamin keterjangkauan dan akses konsumen. Selain itu, pembenahan produksi dan penyederhanaan regulasi terkait impor juga diperlukan. "Data-data perkiraan jumlah populasi dalam beberapa tahun hingga puluhan tahun mendatang sebaiknya dapat dijadikan gambaran bagaimana daya dukung produksi beras nasional masih perlu ditingkatkan," kata Rachmad.
Modernisasi Pertanian dan Teknologi
Salah satu rekomendasi utama CIPS adalah peningkatan adopsi teknologi pertanian. Rachmad menjelaskan bahwa teknologi dapat meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi biaya, sehingga harga jual beras dapat lebih kompetitif. Hal ini termasuk penggunaan teknologi tepat guna dalam pengolahan lahan, pemanfaatan pupuk dan pestisida secara efisien, serta penerapan sistem irigasi yang modern.
Selain teknologi, modernisasi pertanian juga mencakup peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan dan pendidikan. Petani perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengadopsi teknologi baru dan menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan. Pemerintah juga perlu memberikan dukungan berupa akses pembiayaan yang mudah dan terjangkau bagi petani untuk investasi teknologi.
Pentingnya diversifikasi komoditas pertanian juga ditekankan. Ketergantungan pada satu komoditas saja, seperti beras, membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga dan bencana alam. Diversifikasi dapat meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan petani.
Kesimpulannya, peningkatan produksi pertanian di Indonesia membutuhkan pendekatan yang komprehensif, yang mencakup reformasi kebijakan, modernisasi pertanian, dan adopsi teknologi. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat mencapai ketahanan pangan jangka panjang dan meningkatkan kesejahteraan petani.