Dongeng di Bondowoso: Menghidupkan Tradisi, Mengeratkan Emosi Anak
Komunitas Gendongan di Bondowoso menghidupkan tradisi mendongeng untuk memperkuat ikatan emosional anak dan orang tua, sekaligus menanamkan nilai moral.

Bondowoso, 28 April 2024 - Minggu pagi di Desa Tanggulangin, Kecamatan Tegalampel, Bondowoso, Jawa Timur, menjadi saksi bisu bagaimana dua ekor monyet dalam sebuah dongeng mengajarkan anak-anak panti asuhan Yarhima tentang pentingnya mengucapkan terima kasih, meminta maaf, dan meminta tolong. Kegiatan ini diprakarsai oleh Komunitas Gerakan Mendongeng untuk Anak (Gendongan), sebuah komunitas yang berdedikasi untuk menghidupkan kembali tradisi mendongeng.
Lewat peran Evy Yulistiowati, atau Kak Evy, cerita sederhana tentang dua monyet itu menjadi media efektif untuk menanamkan nilai-nilai moral penting bagi anak-anak. Bukan hanya dongeng, kegiatan ini juga diramaikan dengan permainan, nyanyian, dan kuis berhadiah buku, menciptakan suasana ceria dan interaktif di tengah rindangnya pepohonan jati.
Kegiatan ini bukan sekadar hiburan, melainkan juga upaya untuk membangun karakter anak. Selain tiga nilai utama yang disampaikan melalui dongeng monyet, para pendongeng juga mengajak anak-anak untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri mereka sendiri, sebuah proses penting dalam pembentukan jati diri.
Mengenali Diri dan Nilai Moral
Kak Evy, bersama Kak Holidi, Kak Yogi, Kak Ita, dan Kak Dian, bergantian membawakan dongeng dengan pesan moral yang berbeda. Kak Evy, misalnya, menjelaskan bahwa kulit gelap bukanlah kekurangan, melainkan kelebihan karena memberikan perlindungan lebih terhadap kanker kulit. Ia juga mendorong anak-anak untuk berani mengungkapkan kelebihan mereka, baik fisik maupun kepribadian.
Sementara itu, Kak Holidi bercerita tentang Khalid bin Walid, sahabat Nabi Muhammad SAW, menunjukkan bagaimana keberanian dan kepahlawanan dapat menjadi teladan. Penggunaan media gambar membuat cerita sejarah ini lebih mudah dipahami dan menarik bagi anak-anak. Kak Ita, fokus pada tema kesehatan reproduksi remaja, memberikan wawasan penting bagi anak-anak praremaja tentang pentingnya menjaga tubuh dan pergaulan.
Kegiatan ditutup dengan menyanyikan lagu "Disentuh Boleh, Disentuh Tidak Boleh", sebuah lagu yang mengajarkan anak-anak untuk melindungi diri dari pelecehan seksual. Semua sesi dirancang untuk memberikan edukasi yang menyenangkan dan mudah dicerna oleh anak-anak.
Manfaat Mendongeng dan Penguatan Literasi
Ketua Yayasan Panti Asuhan Yarhima, Suyitno, mengapresiasi kegiatan ini. Ia melihat kegiatan mendongeng dan penguatan literasi sangat membantu anak-anak asuhnya untuk mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, mengurangi ketergantungan pada gawai, dan meningkatkan perkembangan emosional mereka.
Kegiatan mingguan di panti asuhan tidak hanya terbatas pada mendongeng. Anak-anak juga diajak untuk belajar bercocok tanam, beternak, dan membaca buku. Semua aktivitas ini bertujuan untuk memberikan pendidikan holistik dan seimbang bagi anak-anak yatim piatu.
Kebangkitan Tradisi Mendongeng
Komunitas Gendongan, dibina oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Kabupaten Bondowoso, berjuang untuk menghidupkan kembali tradisi mendongeng. Mereka menyadari pentingnya ikatan emosional antara orang tua dan anak, yang seringkali terganggu oleh ketergantungan pada teknologi.
Komunitas ini tidak hanya aktif mendongeng di panti asuhan dan lembaga pendidikan, tetapi juga memberikan pelatihan mendongeng kepada para ibu di desa-desa. Mereka berharap, tradisi mendongeng dapat kembali menjadi bagian integral dari kehidupan keluarga Indonesia, menciptakan ikatan yang lebih kuat dan menanamkan nilai-nilai moral yang penting bagi generasi mendatang.
Upaya Komunitas Gendongan ini patut diapresiasi. Mereka mengingatkan kita akan pentingnya kembali ke akar budaya, memanfaatkan tradisi mendongeng sebagai alat untuk membangun karakter anak dan mempererat hubungan keluarga. Semoga semangat mereka menginspirasi masyarakat luas untuk menghidupkan kembali tradisi mendongeng dan menciptakan generasi yang lebih baik.