Dorong Akses Keuangan Inklusif untuk Indonesia yang Merata
Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025 mendorong percepatan inklusi keuangan untuk mengatasi kesenjangan akses layanan keuangan di Indonesia, demi terwujudnya Indonesia yang adil dan sejahtera.

Jakarta, 15 Mei 2025 (ANTARA) - Akses keuangan yang merata seringkali luput dari sorotan dalam diskusi publik tentang keadilan ekonomi. Padahal, akses tersebut merupakan hak setiap individu, terlepas dari latar belakang geografis, gender, tingkat pendidikan, atau pendapatan. Inilah inti dari inklusi keuangan, sebuah agenda yang tidak hanya mencakup angka statistik, tetapi juga keadilan sosial dan pembangunan yang etis.
Indonesia International Financial Inclusion Summit (IFIS) 2025, yang diadakan pada 6 Mei lalu, mencerminkan kesadaran kolektif untuk menjadikan inklusi keuangan sebagai jalan menuju Indonesia yang setara. Komitmen pemerintah Indonesia, seperti yang disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Ekonomi Digital Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Ali Murtopo Simbolon, sangat penting dalam konteks ini. IFIS 2025, menurut beliau, bukan sekadar forum diskusi, melainkan platform untuk mempercepat inklusi keuangan dan menyelesaikan berbagai masalah yang menghambat akses masyarakat Indonesia terhadap layanan keuangan.
Salah satu isu kunci yang dibahas adalah pengembangan infrastruktur digital publik yang dapat mempercepat inklusi keuangan, terutama di kalangan kelompok rentan. Diinisiasi oleh Tony Blair Institute for Global Change dan Gates Foundation serta didukung pemerintah Indonesia, forum ini menjadi ruang pertemuan lintas sektoral untuk membahas tantangan, peluang, dan jalur menuju sistem keuangan yang inklusif.
Infrastruktur Digital dan Inklusi Keuangan
Inklusi keuangan bukan hanya sekadar memiliki rekening bank atau kartu ATM. Pada intinya, ini adalah hak fundamental warga negara dalam sistem ekonomi modern. Tanpa akses ke layanan keuangan formal, seperti rekening tabungan, asuransi, kredit, dan investasi, individu akan lebih rentan terhadap krisis, menghadapi tantangan lebih besar dalam mengembangkan bisnis, dan berisiko jatuh kembali ke dalam kemiskinan. Oleh karena itu, inklusi keuangan menjadi masalah keadilan.
Kenaikan tingkat inklusi keuangan nasional, yang kini mencapai 76,3 persen untuk kepemilikan rekening dan 88,7 persen untuk penggunaan layanan keuangan formal, patut diapresiasi. Namun, di balik angka tersebut, perlu dilihat lebih jauh: siapa yang masih belum terjangkau? Di area mana kesenjangan masih lebar? Apakah akses yang tersedia telah benar-benar memenuhi kebutuhan dan kemampuan kelompok yang dilayani?
IFIS 2025 memberikan ruang untuk membahas pertanyaan-pertanyaan tersebut. Barbara Ubaldi, Global Senior Director for Government Innovation & AI dari Tony Blair Institute for Global Change, memberikan perspektif yang relevan. Beliau menekankan bahwa akses keuangan bertindak sebagai perlindungan sosial di masa krisis. Pandemi COVID-19 telah membuktikan bahwa mereka yang kekurangan dana darurat atau akses ke kredit mikro terpaksa menjual aset produktif hanya untuk bertahan hidup.
Oleh karena itu, inklusi keuangan yang tangguh harus diintegrasikan dengan perlindungan sosial dan kesiapsiagaan terhadap guncangan ekonomi. Inklusi keuangan bukan hanya bagian dari sistem ekonomi, tetapi juga komponen dari sistem ketahanan nasional. Strategi digitalisasi juga menjadi topik utama dalam forum ini. Pemanfaatan infrastruktur digital publik bukan hanya solusi untuk efisiensi, tetapi juga sarana untuk mendemokratisasi akses. Namun, digitalisasi yang terburu-buru tanpa kesadaran inklusivitas dapat memperburuk ketidaksetaraan.
Peran Perempuan dan Literasi Keuangan
IFIS 2025 juga menjadikan pemberdayaan perempuan sebagai fokus diskusi. Perempuan, terutama di desa dan daerah tertinggal, sering berada di garis depan pengelolaan ekonomi rumah tangga tetapi memiliki akses yang lebih sedikit terhadap layanan keuangan. Ketika perempuan memiliki akses ke kredit, asuransi, dan instrumen investasi, dampaknya akan berlipat ganda. Hal ini tidak hanya akan memperkuat ketahanan ekonomi rumah tangga, tetapi juga memutus mata rantai kemiskinan antar generasi.
Lebih lanjut, keuangan inklusif harus disertai dengan literasi. Tanpa pemahaman yang memadai, masyarakat berisiko jatuh ke dalam jerat pinjaman online ilegal, penipuan investasi, atau perilaku konsumtif yang tidak sehat.
Akselerasi Inklusi Keuangan di Daerah
Peluncuran Indeks Keterjangkauan Akses Keuangan Daerah (IKAD) dalam forum ini merupakan langkah strategis untuk menyelaraskan visi pemerintah pusat dengan dinamika daerah. Dengan IKAD, peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) diharapkan semakin kuat dalam mengidentifikasi kebutuhan dan hambatan di daerah.
Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Edukasi dan Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyatakan bahwa 552 TPAKD yang dibentuk di seluruh provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia merupakan kunci untuk mencapai misi Asta Cita dan visi Indonesia Emas 2045. Inklusi yang sebenarnya menuntut pendekatan yang terdesentralisasi dan peka terhadap konteks, yang menghormati kearifan lokal dan menghindari model *one-size-fits-all*.
Perspektif baru yang perlu dibangun bersama adalah melihat inklusi keuangan sebagai jembatan peradaban. Ini bukan hanya alat transaksi, tetapi juga sarana untuk membangun martabat. Dalam sistem ekonomi yang manusiawi, akses keuangan merupakan simbol pengakuan bahwa setiap warga negara berhak merencanakan masa depan, bukan hanya untuk bertahan hidup dari hari ke hari. Dengan demikian, ketika negara berinvestasi dalam inklusi keuangan, pada dasarnya negara sedang membangun kembali kontrak sosial yang lebih adil antara negara dan warganya.
IFIS 2045 bukanlah perayaan keberhasilan, melainkan pengingat akan tugas besar yang harus ditangani. Kesempatan digital, bias gender, rendahnya literasi keuangan, dan dominasi sistem keuangan yang masih terlalu berorientasi pada kota besar harus ditangani bersama. Visi Indonesia Emas 2045 harus dikejar tidak hanya dengan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dengan akses yang setara, layanan yang adil, dan keterlibatan semua warga negara dalam sistem ekonomi yang inklusif. Tantangan ke depan adalah menghindari jebakan eksklusivitas baru dalam sistem yang mengklaim inklusif. Inklusi yang hanya berbicara angka tanpa makna nyata hanya akan menyembunyikan ketidaksetaraan dengan statistik yang menipu.
Pada akhirnya, inklusi keuangan mencerminkan seberapa jauh kita dapat berbagi kekuatan ekonomi dengan kelompok yang sering terpinggirkan. IFIS 2025 telah membuka ruang untuk diskusi ini. Sekarang, saatnya untuk gerakan bersama. Tidak ada pembangunan yang adil tanpa keuangan inklusif.