DPR Desak DJBC Tinjau Ulang Tarif Cukai Hasil Tembakau
Ketua Komisi XI DPR RI mendorong Ditjen Bea Cukai untuk mengkaji ulang tarif cukai hasil tembakau agar penerimaan negara optimal dan industri tidak mengalami kontraksi.

Jakarta, 9 Mei 2024 - Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, mendesak Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan untuk segera mengkaji ulang kebijakan tarif cukai hasil tembakau (IHT). Desakan ini dilatarbelakangi kekhawatiran akan dampak negatif penerapan tarif cukai yang dinilai terlalu tinggi terhadap industri dalam negeri. Misbakhun menekankan pentingnya peninjauan ulang agar penerimaan negara tetap optimal tanpa menekan industri IHT hingga mengalami penurunan produksi signifikan.
Pernyataan tersebut disampaikan Misbakhun di Jakarta pada Jumat pekan lalu. Ia menyoroti penurunan produksi yang signifikan dialami oleh salah satu perusahaan rokok besar, Gudang Garam, khususnya untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM I), meskipun tembakau di pasaran tetap habis terjual. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai potensi peningkatan impor tembakau untuk memenuhi kebutuhan industri.
"Kami belum tahu persis mungkin apakah terjadi peningkatan impor terhadap tembakau, sehingga kalau tembakau dalam negeri habis terjadi peningkatan impor juga terhadap tembakau," ujar Misbakhun. Ia menambahkan bahwa kondisi yang dialami Gudang Garam perlu dianalisis secara mendalam untuk menentukan strategi yang tepat, termasuk kemungkinan dampak serupa pada pabrik rokok lainnya.
Kajian Ulang Tarif Cukai: Solusi untuk Industri dan Penerimaan Negara
Misbakhun menyoroti model penerapan tarif cukai tunggal yang selama ini diterapkan, yaitu kenaikan tarif yang selalu dibebankan pada golongan SKM I. Menurutnya, model ini perlu dikaji ulang karena dinilai terlalu tinggi dan berdampak negatif terhadap produksi serta penerimaan cukai negara. "Kalau ini dialami oleh pabrik rokok yang lainnya, berarti sistem tarif cukai yang selama ini selalu menggunakan single model yaitu kenaikan tarif dan selalu dikenakan pada golongan SKM I, maka kita harus mengkaji ulang, karena itu eksesif dari sisi apa produksi dan eksesif terhadap penerimaan cukai kita," tegas Misbakhun.
Ia menambahkan bahwa kebijakan tarif cukai yang eksesif berpotensi menyebabkan kontraksi industri dan penurunan produksi secara signifikan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih moderat untuk menyeimbangkan antara optimalisasi penerimaan negara dan keberlangsungan industri IHT.
Pemerintah perlu mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap seluruh pemangku kepentingan, termasuk petani tembakau dan buruh pabrik. Suatu kebijakan yang baik seharusnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan dan berkeadilan.
GAPPRI Usul Roadmap Kebijakan Cukai 2026-2029
Sementara itu, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mendukung perumusan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai dan harga jual eceran (HJE) untuk periode 2026-2029. Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menyampaikan dua poin penting agar Roadmap tersebut efektif dan efisien.
Pertama, GAPPRI meminta agar industri IHT diberikan waktu pemulihan selama periode 2026-2029, terutama dari tekanan rokok murah ilegal. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) selama periode tersebut. "Kemudian, tahun 2029 saat daya beli membaik dapat dinaikkan sesuai kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi," jelas Henry.
Kedua, GAPPRI menekankan pentingnya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) dalam merumuskan Roadmap tersebut. Hal ini bertujuan untuk memastikan keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja IHT, pertanian tembakau dan cengkeh, peredaran rokok murah ilegal, dan penerimaan negara.
Henry berharap Roadmap ini dapat menjadi solusi untuk mengamankan pendapatan negara dari sektor cukai, mempertahankan lapangan kerja, serta menjaga investasi di industri IHT.
Dengan adanya usulan dari DPR dan GAPPRI, diharapkan pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan tarif cukai hasil tembakau dan merumuskan kebijakan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.