Ekonom: Ciptakan Lapangan Kerja, Antisipasi PHK di Sektor Manufaktur
Ekonom Wijayanto Samirin menyoroti pentingnya program penciptaan lapangan kerja untuk mengantisipasi PHK massal di sektor manufaktur dan mendorong pemerintah memprioritaskan program padat karya.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan keprihatinan terkait maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia, khususnya di sektor manufaktur. Dalam wawancara dengan ANTARA pada Senin, 10 Maret, ia menekankan perlunya pemerintah memprioritaskan program-program yang mampu menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan daya beli masyarakat. Hal ini dinilai krusial untuk mengantisipasi dampak buruk PHK yang terus meningkat.
Wijayanto menyarankan agar pemerintah menunda program-program yang mahal dan tidak sejalan dengan tantangan mendesak yang dihadapi bangsa. Ia juga menyoroti pentingnya peninjauan ulang program makan bergizi gratis (MBG), agar lebih efisien dan tidak membebani anggaran negara secara berlebihan. "Program-program yang tidak tepat sasaran hanya akan memperburuk kondisi ekonomi," ujarnya.
Sebagai solusi, Wijayanto mengusulkan pemberian insentif pajak dan non-pajak kepada sektor manufaktur dan sektor padat karya lainnya. Langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja baru. Ia juga menekankan pentingnya keberlanjutan upaya penghematan anggaran negara, namun dengan tetap memperhatikan dampaknya terhadap aktivitas ekonomi.
PHK Massal di Sektor Manufaktur: Sebuah Tren yang Mengkhawatirkan
Belakangan ini, isu PHK menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Kasus PHK massal yang terjadi di beberapa perusahaan besar, seperti PT Sri Rejeki Isman (Sritex) dengan lebih dari 10.000 pekerja yang terkena dampak, menjadi sorotan publik. Selain Sritex, perusahaan lain seperti PT Sanken Indonesia dan PT Yamaha Music Indonesia juga melakukan PHK.
Data dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSYFI) menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Tercatat ada 62 pabrik yang tutup dan melakukan PHK dalam rentang waktu Januari 2023 hingga Januari 2025. Angka ini menggambarkan situasi yang cukup serius di sektor manufaktur Indonesia.
Meskipun Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Februari 2025 tercatat tinggi, yaitu 53,6, Wijayanto menjelaskan bahwa ini merupakan fenomena musiman (seasonal) dan tidak sepenuhnya berkorelasi dengan tingginya angka PHK. Ia menambahkan bahwa pergerakan PMI manufaktur biasanya meningkat menjelang Natal dan Tahun Baru serta Lebaran, kemudian menurun setelah periode tersebut.
Faktor Struktural sebagai Penyebab Utama PHK
Wijayanto berpendapat bahwa PHK yang terjadi saat ini lebih disebabkan oleh faktor struktural. Ia menuding pemerintah gagal menjaga daya saing dan daya tarik sektor manufaktur selama 10 tahun terakhir. Menurutnya, perhatian pemerintah lebih tertuju pada sektor padat modal (capital intensive) seperti pertambangan mineral, hilirisasi, dan kendaraan listrik (EV).
"Pemerintah perlu merevisi strategi pembangunan ekonominya. Sektor manufaktur yang padat karya harus menjadi prioritas," tegas Wijayanto. Ia khawatir PHK yang terjadi saat ini akan berlanjut dan bahkan meningkat skalanya jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah konkret.
"Zaman Jokowi-JK, ide penghematan masif juga pernah dijalankan di awal masa pemerintahan, tetapi kemudian disesuaikan setelah melihat dampak yang buruk terkait dengan PHK," kata Wijayanto, menekankan pentingnya keseimbangan antara penghematan dan pertumbuhan ekonomi.
Ia menyimpulkan bahwa pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah PHK ini, dengan fokus utama pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan daya saing sektor manufaktur. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.