Fakta Mengejutkan: 74,6 Persen Publik Tak Percaya Isu Ijazah Palsu Jokowi, Apa Alasannya?
Mayoritas publik Indonesia, mencapai 74,6 persen, tidak memercayai isu ijazah palsu Jokowi. Temukan tiga alasan utama di balik sikap rasional masyarakat ini.

Sebuah survei terbaru yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan fakta menarik terkait isu ijazah Presiden Joko Widodo. Mayoritas besar publik Indonesia, mencapai 74,6 persen, secara tegas menyatakan ketidakpercayaan mereka terhadap isu ijazah palsu yang kerap menyeruak. Hasil ini mencerminkan sikap rasional masyarakat dalam menyikapi narasi yang beredar luas.
Direktur PT Survei Strategi Indonesia (SIGI) LSI Denny JA, Ardian Sopa, menjelaskan bahwa ada tiga alasan utama di balik tingginya angka ketidakpercayaan publik ini. Alasan tersebut meliputi kekuatan jejak dan logika prosedural kepemimpinan Jokowi, konfirmasi resmi dari lembaga berwenang, serta kesadaran publik akan adanya motif politik di balik isu tersebut. Survei ini dilakukan secara nasional pada 28 Mei hingga 12 Juni 2025.
Meskipun isu ijazah palsu Jokowi terus bergulir di berbagai platform media, mulai dari televisi hingga media sosial, publik menunjukkan sikap tenang. Responden survei cenderung menempatkan isu ini sebagai bagian dari dinamika politik semata, bukan sebagai ancaman serius terhadap legitimasi kepemimpinan nasional yang sah. Hanya sekitar 12,2 persen masyarakat responden yang menyatakan percaya pada isu tersebut.
Tiga Pilar Ketidakpercayaan Publik
Di tengah riuh narasi yang berkembang, mayoritas masyarakat Indonesia justru menunjukkan sikap yang lebih tenang dan rasional dalam menghadapi isu ijazah palsu Jokowi. Data survei LSI Denny JA mengindikasikan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat yang mempercayai tudingan tersebut, sementara sisanya memilih untuk tidak terpengaruh oleh isu ini.
Ketidakpercayaan terhadap isu ijazah palsu Jokowi ini tersebar merata di semua segmen demografi. Mulai dari masyarakat berpendidikan rendah hingga kalangan terpelajar, dari akar rumput hingga kelompok mapan, di pedesaan maupun perkotaan, serta dari generasi Z hingga baby boomer, dan dari semua konstituen partai politik, menunjukkan konsistensi dalam pandangan mereka.
Ardian Sopa membeberkan bahwa alasan pertama ketidakpercayaan publik adalah fondasi kepercayaan yang telah terbangun selama lebih dari satu dekade pemerintahan Jokowi. Dalam persepsi publik, Jokowi adalah figur yang naik dari bawah, bukan elite politik tradisional, dengan rekam jejak yang teruji mulai dari wali kota, gubernur DKI, hingga dua periode sebagai presiden.
Dalam kurun waktu kepemimpinannya, proses administratif seperti pencalonan kepala daerah dan presiden telah melalui tahapan verifikasi yang sangat ketat. Ini termasuk pengecekan dokumen ijazah oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan berbagai instansi resmi lainnya, yang semakin memperkuat keyakinan publik akan keabsahan dokumen tersebut.
Klarifikasi Lembaga Resmi dan Kesadaran Politis
Alasan kedua yang mendasari ketidakpercayaan publik adalah adanya klarifikasi yang jelas dan resmi dari otoritas lembaga negara dan akademik. Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai kampus tempat Jokowi menempuh pendidikan, telah secara tegas menyatakan bahwa Presiden Jokowi merupakan alumnus sah mereka. Pernyataan ini memberikan legitimasi akademik yang kuat.
Selain UGM, Kepolisian Republik Indonesia melalui Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri juga telah melakukan verifikasi mendalam terhadap ijazah yang dituding palsu tersebut. Hasil verifikasi Bareskrim Polri mengonfirmasi bahwa ijazah milik Presiden Jokowi adalah asli, sehingga menghilangkan keraguan yang mungkin timbul di masyarakat.
Alasan ketiga, menurut Ardian, adalah kesadaran publik yang semakin tinggi bahwa isu ini memiliki muatan politis yang kuat. Kemunculan isu ijazah palsu Jokowi ini menjadi lebih intens terutama setelah Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, maju dan berhasil memenangkan posisi Wakil Presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Bagi publik, momen munculnya isu ini tidak dapat dilepaskan dari dinamika kekuasaan dan kontestasi elite politik menjelang periode politik baru. Masyarakat secara cerdas mampu membedakan antara fakta dan narasi yang sengaja dibentuk untuk tujuan politik tertentu, sehingga mereka memilih untuk tidak mempercayai tudingan yang tidak berdasar.