Fakta Mengejutkan Sidang Korupsi Sekda Kendari: Dua Saksi Pensiunan ASN Ungkap Kejanggalan SK KPA
Sidang Korupsi Sekda Kendari Nahwa Umar kembali bergulir dengan menghadirkan dua saksi pensiunan ASN yang mengungkap kejanggalan dalam prosedur anggaran, memicu pertanyaan tentang validitas bukti.

Sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi yang menyeret mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kendari, Nahwa Umar, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kendari, Sulawesi Tenggara. Persidangan pada Senin (21/7) ini menghadirkan dua saksi penting yang berstatus pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN).
Kedua saksi tersebut adalah Susanti, mantan Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kota Kendari, serta Poitu Mortopo, mantan Sekda Kabupaten Kolaka. Keduanya dihadirkan oleh tim kuasa hukum terdakwa dengan tujuan memberikan kesaksian yang meringankan Nahwa Umar dalam kasus ini.
Majelis Hakim yang diketuai Arya Putra Negara Kutawaringin memulai sidang dengan memastikan tidak adanya hubungan kekeluargaan atau pekerjaan antara para saksi dan terdakwa. Proses persidangan ini berupaya mengungkap lebih jauh detail mengenai dugaan korupsi belanja uang persediaan di lingkup Sekretariat Daerah Kota Kendari pada tahun anggaran 2020.
Kesaksian Pensiunan ASN Meringankan Terdakwa
Dalam persidangan, kuasa hukum Nahwa Umar secara spesifik menanyakan kepada saksi Poitu Mortopo mengenai kebijakan yang diterapkan selama menjabat sebagai sekretaris daerah. Pertanyaan tersebut meliputi prosedur anggaran terkait pengeluaran untuk makan minum, pembuatan plat gantung, dan pembayaran pajak kendaraan dinas. Kesaksian ini bertujuan untuk memperjelas mekanisme pertanggungjawaban anggaran.
Menurut Muswanto, tim kuasa hukum terdakwa, kedua saksi telah menjelaskan bahwa tanggung jawab utama dalam verifikasi dan validasi dokumen anggaran sebenarnya berada pada Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK). Hal ini menunjukkan bahwa PPTK memiliki peran krusial dalam memastikan keabsahan setiap nota sebelum pencairan dana dilakukan.
Muswanto menambahkan bahwa Pengguna Anggaran (PA), termasuk Sekda, hanya menerima laporan yang tertera di aplikasi sistem. Oleh karena itu, pihak yang benar-benar memvalidasi, mengajukan, dan menyetujui nilai-nilai anggaran adalah bagian yang telah didelegasikan dari PA kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau PPTK.
Sorotan Kuasa Hukum Terhadap Tanggung Jawab dan Bukti
Tim kuasa hukum terdakwa juga menyoroti adanya kejanggalan signifikan terkait alat bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Kejanggalan tersebut khususnya terkait Surat Keputusan (SK) pengangkatan KPA yang dihadirkan sebagai bukti. Menurut Muswanto, SK tersebut terbit pada bulan Oktober, yang dianggap tidak lazim.
Berdasarkan kesaksian mantan Sekda Kolaka dan mantan Kepala BKAD Kota Kendari, SK pengangkatan KPA seharusnya diterbitkan di awal tahun anggaran. Penerbitan SK di akhir tahun, seperti pada bulan Oktober, hanya dapat terjadi jika ada usulan mutasi atau pergantian pejabat, yang tidak dijelaskan dalam konteks ini.
Muswanto mengungkapkan bahwa JPU hanya mampu menunjukkan fotokopi SK tersebut sebagai alat bukti, dan keaslian dokumennya masih dipertanyakan. "Di sini yang rancunya fakta persidangan kemarin Jaksa cuma bisa menunjukkan SK pengangkatan KPA di bulan 10. Dan itu kita tidak tahu aslinya di mana, Itu fotokopi yang dia jadikan alat bukti di persidangan itu," jelasnya.
Nahwa Umar sendiri ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi belanja uang persediaan lingkup Sekretariat Daerah Kota Kendari. Kasus ini mencakup kegiatan belanja uang persediaan (UP), ganti uang persediaan (GUP), tambah uang persediaan (TUP), dan Langsung (Ls) pada Bagian Umum Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Kendari untuk tahun anggaran 2020.