Hadapi Tarif Trump, Ekonom Sarankan Indonesia Perbanyak Impor dari AS
Ekonom Wijayanto Samirin menilai peningkatan impor dari AS dapat menjadi strategi jangka pendek Indonesia untuk menghadapi tarif resiprokal yang diterapkan Presiden AS Donald Trump, meskipun berpotensi memperlebar defisit anggaran.

Jakarta, 10 April 2024 (ANTARA) - Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif resiprokal 32 persen terhadap Indonesia. Menanggapi ancaman tersebut, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyarankan peningkatan impor barang dari Amerika Serikat (AS) sebagai strategi jangka pendek. Langkah ini diambil untuk mengurangi surplus perdagangan Indonesia terhadap AS dan meredakan ketegangan perdagangan bilateral.
Meskipun potensi peningkatan defisit anggaran menjadi kekhawatiran, Indonesia memang membutuhkan sejumlah komoditas utama yang diproduksi AS. Komoditas tersebut antara lain kapas, minyak bumi, gas alam cair (LNG), jagung, dan gandum, dengan tren kebutuhan yang terus meningkat. Menurut Wijayanto, "Kita membutuhkan banyak produk yang tidak kita produksi dan mereka diproduksi oleh AS, misalnya kapas, minyak bumi, gas alam cair (LNG), jagung, dan gandum. Saat ini tren kebutuhan meningkat, memposisikan AS sebagai supplier utama adalah seperti sekali mengayuh dua pulau terlampaui."
Peningkatan impor dari AS diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sekaligus mengurangi surplus perdagangan Indonesia. Hal ini dinilai dapat menjadi poin penting dalam negosiasi tarif dengan AS. Langkah ini merupakan respons atas tekanan AS untuk mengurangi defisit perdagangannya dengan Indonesia.
Negosiasi dan Strategi Jangka Panjang
Data Kementerian Perdagangan RI menunjukkan surplus perdagangan Indonesia terhadap AS mencapai 14,34 miliar dolar AS pada tahun 2024. Surplus ini terutama berasal dari ekspor mesin dan perlengkapan elektrik, pakaian dan aksesoris, serta alas kaki. Namun, data AS menunjukkan defisit perdagangan sebesar 17,9 miliar dolar AS pada tahun yang sama.
Wijayanto menilai pendekatan negosiasi yang dilakukan pemerintah Indonesia sebagai langkah yang realistis. Negosiasi ini meliputi revitalisasi Perjanjian Kerja Sama Perdagangan dan Investasi (TIFA) dan deregulasi hambatan non-tarif (NTMs), termasuk pelonggaran Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk produk teknologi dari AS.
Tujuan utama Trump adalah menyeimbangkan defisit anggaran AS yang mencapai 1,2 triliun dolar AS, seperti yang disampaikan dalam pidato State of the Union. Wijayanto bahkan menyinggung adanya "pembagian tugas" tidak formal antara Trump dan Elon Musk; Trump fokus meningkatkan pendapatan negara melalui kebijakan tarif, sementara Musk melalui Department of Government Efficiency (DOGE) bertugas memangkas belanja negara.
Dengan negosiasi yang berhasil, Wijayanto memperkirakan tarif resiprokal yang akan diterapkan AS terhadap Indonesia dapat diturunkan hingga sekitar 20 persen. AS menargetkan tambahan penerimaan sekitar 0,7 triliun dolar AS per tahun dari kebijakan tarif ini, dengan negara-negara surplus perdagangan terbesar terhadap AS, termasuk Indonesia (yang termasuk dalam kelompok 'The Dirty 15' oleh Gedung Putih), diharapkan berkontribusi besar melalui tambahan tarif sekitar 10 persen.
Impor Sebagai Jembatan Negosiasi
Strategi peningkatan impor dari AS, meskipun berisiko memperlebar defisit anggaran, dinilai sebagai langkah strategis jangka pendek. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan ruang negosiasi yang lebih menguntungkan bagi Indonesia dalam menghadapi tekanan dari AS. Pemerintah perlu mempertimbangkan secara cermat dampaknya terhadap perekonomian nasional dan mencari keseimbangan antara memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menjaga stabilitas ekonomi.
Selain itu, keberhasilan negosiasi juga bergantung pada kemampuan Indonesia dalam menawarkan solusi yang saling menguntungkan. Revitalisasi TIFA dan deregulasi NTMs menjadi kunci dalam mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan. Suksesnya negosiasi akan menentukan dampak jangka panjang dari tarif resiprokal yang diterapkan AS terhadap perekonomian Indonesia.
Pendekatan yang komprehensif dan proaktif sangat penting dalam menghadapi tantangan ini. Pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi dan mengoptimalkan strategi negosiasi untuk mencapai hasil terbaik bagi Indonesia.