Diplomasi Ekonomi RI di Uji: Tarif Trump Ancam Sektor Ekspor
Tarif timbal balik AS mengancam industri nasional Indonesia, terutama sektor garmen dan furnitur, mendorong pemerintah untuk melakukan negosiasi diplomatik guna melindungi kepentingan nasional.

Jakarta, 09 Mei 2025 (ANTARA) - Kebijakan tarif timbal balik Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Trump menimbulkan ancaman serius bagi industri nasional Indonesia. Beberapa sektor ekspor utama, seperti garmen dan alas kaki, berpotensi terdampak signifikan. Tarif 32 persen yang dibebankan AS terhadap produk Indonesia telah memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, mengingat AS merupakan salah satu tujuan ekspor utama Indonesia.
AS menempati posisi kedua sebagai mitra ekspor terbesar Indonesia setelah Tiongkok. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total ekspor Indonesia ke AS pada Januari-Februari 2025 mencapai US$4,68 miliar. Nilai ini turut berkontribusi besar pada surplus perdagangan Indonesia yang mencapai US$3,14 miliar selama periode tersebut. Presiden Trump memberikan jeda sementara selama 90 hari terhadap tarif timbal balik, memberikan waktu bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk merumuskan langkah strategis.
Namun, jika AS tetap memberlakukan tarif 32 persen, importir Amerika kemungkinan akan berpikir ulang untuk mengimpor barang dari Indonesia karena beban bea masuk yang tinggi. Industri tekstil, yang mempekerjakan sekitar 3,98 juta orang pada tahun 2025, dan industri furnitur dengan lebih dari 962 ribu pekerja, berisiko menghadapi penurunan permintaan dari pasar AS. Dalam skenario terburuk, industri-industri ini dapat menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) seiring perusahaan menerapkan langkah efisiensi untuk mengatasi hilangnya pasar utama mereka.
Diplomasi Ekonomi: Negosiasi sebagai Strategi
Menanggapi tekanan ini, langkah diplomatik menjadi sangat penting. Alih-alih membalas ancaman tarif dengan kebijakan serupa, pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi. Berbeda dengan Tiongkok dan Uni Eropa (UE) yang merespons dengan tindakan balasan, Indonesia mengambil pendekatan diplomatik yang oleh banyak ekonom dianggap sebagai langkah yang lebih rasional.
Wijayanto Samirin, ekonom dari Universitas Paramadina, menilai Indonesia belum memiliki kekuatan tawar yang sama dengan UE atau Tiongkok, sehingga negosiasi menjadi pilihan yang lebih strategis saat ini. Pada 16 April 2025, delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengunjungi Washington, D.C., AS, untuk memulai negosiasi dengan Perwakilan Dagang AS (USTR), Departemen Perdagangan AS, dan Departemen Keuangan AS.
Kedua negara sepakat untuk menyiapkan peta jalan perdagangan dalam waktu 60 hari. Diskusi teknis negosiasi Indonesia-AS akan mempertimbangkan lima fokus utama, yaitu: 1. Mempertahankan keamanan energi nasional; 2. Mendorong akses pasar ekspor; 3. Mempromosikan kemudahan berusaha melalui deregulasi; 4. Membangun rantai pasokan industri strategis, termasuk untuk mineral kritis; dan 5. Memperluas akses ke sains dan teknologi. "Tawaran Indonesia kepada Amerika Serikat bertujuan untuk mewujudkan kerja sama perdagangan yang adil dan setara," ujar Hartarto.
Hingga saat ini, Indonesia dan USTR telah menandatangani perjanjian kerahasiaan (NDA), menandai dimulainya fase diskusi teknis yang akan berlangsung selama dua minggu ke depan.
Kepentingan Nasional dalam Negosiasi
Posisi Indonesia dalam negosiasi dengan AS harus tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai landasan utama. Namun, dengan proyeksi pelebaran defisit transaksi berjalan, langkah pemerintah untuk 'mempesona' Presiden Trump dengan meningkatkan impor produk energi dan makanan dari AS juga menuai sorotan, karena taktik negosiasi ini dapat memperlebar defisit transaksi berjalan Indonesia.
Pada tahun 2024, surplus perdagangan Indonesia dengan AS mencapai US$14,37 miliar. Dalam hal ini, pemerintah harus berhati-hati untuk tidak mengorbankan daya saing industri dalam negeri atau mengekspos sektor-sektor strategis terhadap lonjakan tarif atau perubahan regulasi yang tiba-tiba.
Terlepas dari hasil negosiasi, pemerintah harus memastikan bahwa sektor-sektor penting, seperti manufaktur, pertanian, dan industri kreatif, menerima perlindungan dan dukungan yang memadai. Selain itu, Indonesia perlu mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspor. Penilaian ulang terhadap ketergantungan yang berlebihan pada pasar tradisional seperti AS sangat diperlukan.
Shan Saeed, Kepala Ekonom di Juwai IQI, menilai BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), yang semakin kuat sebagai blok ekonomi baru, dapat menjadi pasar alternatif yang menjanjikan. Memang, membuka pasar baru bukanlah sesuatu yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Membangun kepercayaan, memenuhi standar kualitas, dan memahami preferensi pasar asing membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber daya. Namun, bukan tidak mungkin. Dengan diplomasi ekonomi dan perjanjian perdagangan regional yang tepat, Indonesia dapat memperluas ekspornya.
Meskipun tantangan masih membayangi, Indonesia dan AS sejauh ini menunjukkan komitmen untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Dalam waktu 60 hari, kedua negara berupaya menyelesaikan negosiasi untuk menghindari eskalasi tarif yang dapat merugikan kedua belah pihak. Tarif timbal balik AS memang berpotensi membentuk kembali tatanan global. Salah satu contohnya adalah munculnya poros baru, seperti BRICS, karena banyak negara mencari alternatif sebagai respons terhadap meningkatnya unilateralisme AS di bawah kepemimpinan Trump.
Proses negosiasi ini akan menguji kemampuan Indonesia untuk mempertahankan kepentingan nasional tanpa jatuh ke dalam eskalasi perdagangan. Hal ini penting karena kemitraan yang adil bukan hanya tentang keseimbangan perdagangan, tetapi juga tentang saling menghormati kedaulatan ekonomi masing-masing negara.