Tarif Trump: Ujian Diplomasi Ekonomi Indonesia di Tengah Ancaman Resiprokal
Kebijakan tarif resiprokal AS mengancam ekspor Indonesia, mendorong pemerintah untuk melakukan negosiasi intensif demi menjaga kepentingan nasional dan diversifikasi pasar.

Apa yang terjadi? Amerika Serikat (AS) memberlakukan kebijakan tarif resiprokal yang berpotensi memukul ekspor Indonesia. Siapa yang terdampak? Sektor ekspor utama Indonesia seperti garmen, peralatan listrik, alas kaki, dan minyak nabati. Di mana dampaknya terasa? Di pasar AS, mitra ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China. Kapan hal ini terjadi? Kebijakan tarif ini diberlakukan, namun diberikan penangguhan selama 90 hari. Mengapa hal ini terjadi? Sebagai dampak kebijakan proteksionis AS. Bagaimana Indonesia merespon? Dengan jalur diplomasi dan negosiasi, berbeda dengan respon balasan dari China dan Uni Eropa.
Ekspor Indonesia ke AS mencapai 4,68 miliar dolar AS pada Januari-Februari 2025, menghasilkan surplus 3,14 miliar dolar AS. Ancaman tarif 32 persen dari AS berpotensi memukul industri tekstil (3,98 juta pekerja) dan furnitur (lebih dari 962.000 pekerja), bahkan berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi, berbeda dengan China dan Uni Eropa yang merespon dengan aksi balasan. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai pendekatan ini strategis mengingat daya tawar Indonesia yang masih terbatas dibandingkan Uni Eropa atau China.
Negosiasi Indonesia-AS: Peta Jalan 60 Hari
Delegasi Indonesia, dipimpin Menko Airlangga Hartarto, telah melakukan lawatan ke Washington D.C. pada 16 April 2025 untuk berunding dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Kementerian Perdagangan AS (Department of Commerce), dan Kementerian Keuangan AS (Department of Treasury). Kedua negara sepakat membuat peta jalan perdagangan selama 60 hari.
Lima fokus utama negosiasi meliputi: menjaga ketahanan energi nasional, memperjuangkan akses pasar ekspor, mendorong kemudahan berusaha, membangun rantai pasok industri strategis (termasuk mineral kritis), dan memperluas akses ilmu pengetahuan dan teknologi. "Tawaran Indonesia kepada Amerika Serikat bertujuan untuk mewujudkan kerja sama perdagangan yang adil, fair and square," kata Airlangga.
Indonesia dan USTR telah menandatangani non-disclosure agreement (NDA), menandai dimulainya pembahasan teknis selama dua pekan ke depan. Pemerintah Indonesia berupaya menjaga kepentingan nasional dalam negosiasi ini, namun langkah membuka keran impor produk energi dan pangan AS untuk merayu Presiden Trump menuai sorotan karena berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan.
Menjaga Keseimbangan: Antara Negosiasi dan Diversifikasi
Surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS mencapai 14,37 miliar dolar AS pada 2024. Pemerintah perlu berhati-hati agar tidak ada kompromi yang melemahkan daya saing industri dalam negeri. Perlindungan dan dukungan bagi sektor manufaktur, pertanian, dan industri kreatif sangat penting.
Upaya diversifikasi pasar ekspor juga krusial untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Chief Economist Juwai IQI Shan Saeed menilai negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) sebagai alternatif pasar yang menjanjikan. Memang, membuka pasar baru membutuhkan waktu dan sumber daya, namun hal ini tetap perlu diupayakan.
Meskipun negosiasi dengan AS masih berlangsung, Indonesia juga perlu mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan yang berlebihan terhadap pasar tradisional seperti AS perlu dievaluasi kembali. Dengan diplomasi ekonomi yang tepat dan pemanfaatan perjanjian dagang regional, Indonesia berpotensi memperluas pijakan ekspornya.
Kesimpulan
Dalam 60 hari ke depan, negosiasi Indonesia-AS akan menjadi ujian diplomasi ekonomi Indonesia. Keberhasilan negosiasi ini akan menentukan kemampuan Indonesia dalam mempertahankan kepentingan nasional di tengah perubahan tatanan global yang dipengaruhi oleh kebijakan proteksionis AS. Kerja sama yang adil tidak hanya soal neraca dagang, tetapi juga saling menghormati kedaulatan ekonomi masing-masing negara.