Hakim Heru Banding Vonis 10 Tahun Penjara Kasus Suap Ronald Tannur
Hakim nonaktif Heru Hanindyo mengajukan banding atas vonis 10 tahun penjara terkait kasus suap dan gratifikasi dalam vonis bebas terpidana Ronald Tannur.

Hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 14 Mei 2024. Vonis tersebut terkait kasus suap dan gratifikasi yang menyebabkan terpidana Ronald Tannur dinyatakan bebas pada tahun 2024. Heru terbukti menerima suap dan gratifikasi untuk membebaskan Tannur. Kasus ini melibatkan uang dan mata uang asing senilai miliaran rupiah.
Kuasa hukum Heru, Farih Romdoni Putra, menyatakan banding atas putusan tersebut. Farih berpendapat majelis hakim belum mempertimbangkan poin-poin dalam pleidoi. Ia menekankan bahwa penyerahan uang dari Lisa, penasihat hukum Tannur, kepada Heru tidak terbukti, dan Heru tidak berada di Surabaya pada hari yang dituduhkan terjadinya bagi-bagi uang.
Banding tersebut telah diajukan ke kepaniteraan PN Jakarta Pusat. Vonis 10 tahun penjara bagi Heru lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Heru terbukti melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus Suap dan Gratifikasi Hakim Heru
Kasus ini melibatkan tiga hakim nonaktif PN Surabaya: Heru Hanindyo, Erintuah Damanik, dan Mangapul. Ketiganya didakwa menerima suap total Rp4,67 miliar, termasuk Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar dengan kurs Rp11.900). Selain suap, mereka juga diduga menerima gratifikasi dalam bentuk rupiah dan berbagai mata uang asing lainnya.
Rincian suap yang diterima meliputi uang tunai dan mata uang asing seperti dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Besarnya jumlah suap dan gratifikasi yang diterima menunjukkan adanya dugaan korupsi sistematis dalam proses peradilan.
Erintuah dan Mangapul divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Mereka tidak mengajukan banding. Perbedaan vonis antara Heru dan dua hakim lainnya mungkin disebabkan oleh perbedaan peran dan bukti yang diajukan dalam persidangan.
Alasan Banding dan Poin Penting Pleidoi
Pihak Heru mengajukan banding karena menganggap majelis hakim tidak mempertimbangkan poin-poin penting dalam pleidoi. Salah satu poin penting yang dipersoalkan adalah kurangnya bukti yang menunjukkan adanya penyerahan uang dari Lisa kepada Heru. Ketidakhadiran Heru di Surabaya pada tanggal yang dituduhkan juga menjadi poin penting yang diabaikan.
Pleidoi tersebut kemungkinan besar berisi argumen hukum dan fakta yang membantah dakwaan jaksa. Dengan mengajukan banding, pihak Heru berharap majelis hakim tingkat banding akan mempertimbangkan kembali bukti-bukti dan argumen yang diajukan dalam pleidoi tersebut. Proses banding ini akan menguji kembali kekuatan bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.
Hasil banding ini akan menentukan apakah vonis 10 tahun penjara terhadap Heru akan tetap berlaku atau akan diubah. Proses peradilan di tingkat banding diharapkan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.
Proses hukum di Indonesia memberikan kesempatan bagi terdakwa untuk mengajukan banding jika merasa ada kekeliruan dalam putusan pengadilan tingkat pertama. Hal ini menunjukkan bahwa sistem peradilan di Indonesia menjunjung tinggi asas due process of law.
Kesimpulan
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan transparansi dalam sistem peradilan. Proses banding yang diajukan Heru akan menjadi ujian bagi sistem peradilan Indonesia untuk memastikan keadilan ditegakkan. Publik menantikan hasil banding tersebut untuk melihat apakah putusan pengadilan tingkat pertama dapat dipertahankan atau perlu direvisi.