Dua Hakim Kasus Vonis Bebas Ronald Tannur Terima Hukuman 7 Tahun, Tak Ajukan Banding
Dua hakim nonaktif PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur, Erintuah Damanik dan Mangapul, menerima hukuman 7 tahun penjara dan tak mengajukan banding, memilih fokus memperbaiki diri.

Dua hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul, yang sebelumnya memberikan vonis bebas kepada terpidana pembunuhan Ronald Tannur, telah divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Vonis tersebut dijatuhkan setelah terbukti menerima suap dan gratifikasi. Menariknya, kedua hakim tersebut memutuskan untuk tidak mengajukan banding atas putusan tersebut.
Keputusan untuk tidak mengajukan banding disampaikan oleh penasihat hukum mereka, Philipus Harapenta Sitepu, pada Sabtu lalu. Menurut Philipus, keputusan ini diambil setelah diskusi yang tenang saat pemindahan kliennya dari Rutan Kejagung ke Rutan Salemba. Alasannya? Erintuah dan Mangapul ingin fokus memperbaiki diri dan keluarga setelah kasus korupsi yang mencoreng nama baik institusi peradilan.
Philipus juga menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat Indonesia, Mahkamah Agung (MA), dan keluarga yang terkait atas kasus ini. Kedua hakim berharap diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan berkontribusi positif bagi masyarakat di masa depan. Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan praktik suap dan gratifikasi yang merongrong keadilan.
Vonis 7 Tahun Penjara dan Alasan Tidak Banding
Vonis 7 tahun penjara dan denda yang dijatuhkan kepada Erintuah dan Mangapul didasarkan pada pelanggaran Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Mereka terbukti bersalah atas dakwaan kumulatif pertama alternatif kedua dan dakwaan kumulatif kedua.
Keputusan untuk tidak mengajukan banding, menurut penasihat hukum, merupakan pilihan yang diambil setelah pertimbangan matang. Prioritas mereka kini adalah memperbaiki diri dan membangun kembali kepercayaan publik. Hal ini menunjukkan adanya penyesalan atas perbuatan yang telah dilakukan dan tekad untuk memperbaiki diri.
Langkah ini juga dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menghindari proses hukum yang panjang dan berbelit-belit, serta fokus pada rehabilitasi diri dan keluarga. Dengan tidak mengajukan banding, mereka menerima konsekuensi atas tindakan koruptif yang telah dilakukan.
Hakim Lain Juga Divonis, Total Suap Miliaran Rupiah
Kasus ini juga melibatkan hakim nonaktif lainnya, Heru Hanindyo, yang divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Ketiga hakim tersebut didakwa menerima suap sebesar Rp4,67 miliar terkait pemberian vonis bebas kepada Ronald Tannur pada tahun 2024.
Rincian suap yang diterima meliputi Rp1 miliar dan 308.000 dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar dengan kurs Rp11.900,00). Selain itu, mereka juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi.
Besarnya jumlah suap dan gratifikasi yang diterima menunjukkan betapa seriusnya kasus ini dan betapa besarnya dampak korupsi terhadap sistem peradilan. Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik korupsi di semua sektor, termasuk peradilan.
Putusan ini diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi dan sekaligus mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci penting dalam membangun sistem peradilan yang bersih dan adil.