Ronald Tannur Bantah Minta Bebas, Kasus Suap Hakim Surabaya Terungkap
Terpidana Ronald Tannur membantah meminta vonis bebas dalam kasus pembunuhan, namun kasus suap terhadap tiga hakim PN Surabaya terkait kasusnya terungkap dengan total suap mencapai miliaran rupiah.

Jakarta, 25 Februari 2024 (ANTARA) - Sidang kasus dugaan suap dan gratifikasi terhadap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya kembali digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta. Terpidana Gregorius Ronald Tannur, yang terlibat kasus pembunuhan kekasihnya, Dini Sera Afrianti, memberikan kesaksian mengejutkan. Ia membantah keras telah meminta vonis bebas kepada pengacaranya, Lisa Rachmat, terkait kasus pembunuhan tersebut. Pernyataan ini muncul di tengah terungkapnya kasus suap yang melibatkan tiga hakim yang diduga menerima suap untuk membebaskan Ronald.
Dalam kesaksiannya, Ronald Tannur mengakui perasaan bersalah yang mendalam setelah jaksa membacakan dakwaan. Bukan karena dakwaan itu sendiri, melainkan karena dampaknya terhadap orang tuanya dan kehebohan yang terjadi di media sosial. "Jadi, yang saya rasakan itu beban moral," ujarnya. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang motif sebenarnya di balik kasus suap yang sedang disidangkan.
Kasus ini berpusat pada dugaan suap dan gratifikasi yang diterima oleh tiga hakim nonaktif PN Surabaya: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Ketiganya didakwa menerima suap sebesar Rp4,67 miliar dan gratifikasi dalam bentuk uang rupiah dan mata uang asing. Suap tersebut diduga diberikan agar Ronald Tannur divonis bebas dalam kasus pembunuhan.
Dugaan Suap Miliaran Rupiah untuk Vonis Bebas
Rincian suap yang diterima ketiga hakim tersebut cukup mencengangkan. Sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar dengan kurs Rp11.900) diduga diterima oleh para hakim. Erintuah Damanik menerima uang tunai sebesar 48 ribu dolar Singapura (Rp571,2 juta) dari Ibu Ronald, Meirizka Widjaja Tannur, dan Lisa Rachmat. Heru Hanindyo menerima Rp1 miliar dan 120 ribu dolar Singapura (Rp1,43 miliar), sementara Mangapul menerima bagiannya dari suap tersebut.
Pembagian uang suap tersebut terinci dan melibatkan sejumlah mata uang asing. 140 ribu dolar Singapura (Rp1,66 miliar) diterima oleh Meirizka dan Lisa, yang kemudian dibagi-bagi kepada ketiga hakim. Uang tersebut diduga diberikan dengan tujuan agar Ronald Tannur mendapatkan vonis bebas (vrijspraak) dari seluruh dakwaan.
Selain suap, ketiga terdakwa juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Hal ini menunjukkan kompleksitas dan skala besar dari dugaan korupsi yang dilakukan oleh para hakim tersebut.
Dakwaan dan Pasal yang Diterapkan
Perbuatan para terdakwa disangkakan melanggar beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP. Pasal-pasal tersebut meliputi Pasal 12 huruf c, Pasal 6 Ayat (2), Pasal 5 Ayat (2), dan Pasal 12 B.
Sidang ini menjadi sorotan publik karena mengungkap dugaan praktik korupsi di peradilan. Pernyataan Ronald Tannur yang membantah meminta vonis bebas semakin memperkuat dugaan adanya upaya manipulasi hukum dalam kasus pembunuhan tersebut. Publik menantikan kelanjutan persidangan dan pengungkapan fakta-fakta yang lebih lengkap terkait kasus ini.
Proses persidangan ini menjadi penting untuk memastikan keadilan ditegakkan dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan tetap terjaga. Terungkapnya kasus suap ini juga menjadi pengingat pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan di Indonesia.
Kesimpulan
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan transparansi dalam sistem peradilan. Terungkapnya dugaan suap kepada hakim dalam kasus pembunuhan Ronald Tannur menimbulkan pertanyaan serius tentang penegakan hukum di Indonesia dan perlunya reformasi untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. Publik berharap agar kasus ini dapat diusut tuntas dan keadilan dapat ditegakkan.