Hakim Vonis Bebas Ronald Tannur Dituntut 9 Tahun Penjara, Mengaku Terkejut
Hakim nonaktif PN Surabaya, Mangapul, dituntut 9 tahun penjara terkait vonis bebas Ronald Tannur dan mengaku terkejut karena telah mengembalikan uang suap serta belum pernah dihukum.

Jakarta, 29 April 2024 - Sidang pembacaan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta menyita perhatian publik. Mangapul, salah satu hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang terlibat dalam vonis bebas terpidana pembunuhan Ronald Tannur, mengaku terkejut, terpukul, dan sedih atas tuntutan sembilan tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan yang dijatuhkan kepadanya. Tuntutan ini terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi dalam pemberian vonis bebas tersebut. Kasus ini melibatkan tiga hakim nonaktif PN Surabaya, yang menerima suap sebesar Rp4,67 miliar.
Mangapul berpendapat bahwa tuntutan tersebut tidak sebanding dengan hal-hal meringankan yang telah dipertimbangkan jaksa penuntut umum (JPU). Ia menekankan bahwa dirinya telah mengakui perbuatannya, mengembalikan uang suap sebesar 36 ribu dolar Singapura yang diterimanya dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, serta memiliki tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum sebelumnya. "Lagi pula dari keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU, tidak ada yang bisa membuktikan saya terbukti melakukan pidana yang dimaksud," ungkap Mangapul dengan menahan air mata.
Lebih lanjut, Mangapul menjelaskan bahwa selama persidangan tidak ada saksi yang dapat membuktikan bahwa Lisa Rachmat memberikan suap secara langsung kepadanya. JPU bahkan menyarankan agar dirinya dan terdakwa Erintuah Damanik mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator) dengan janji keringanan hukuman. Namun, pengajuan tersebut tidak dipertimbangkan oleh JPU, meskipun Mangapul dan Erintuah telah membantu JPU membuktikan dakwaannya. Oleh karena itu, Mangapul berharap majelis hakim dapat mempertimbangkan hal ini sebelum menjatuhkan putusan.
Tuntutan 9 Tahun Penjara untuk Tiga Hakim Nonaktif
Dalam kasus ini, tiga hakim nonaktif PN Surabaya, yaitu Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, masing-masing dituntut dengan hukuman penjara yang berbeda. Erintuah Damanik dan Mangapul dituntut sembilan tahun penjara, sementara Heru Hanindyo dituntut 12 tahun penjara. Selain hukuman penjara, ketiganya juga dituntut membayar denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan.
Ketiga hakim tersebut didakwa melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan pertama alternatif kedua dan dakwaan kumulatif kedua. Mereka dinilai menerima suap sebesar Rp4,67 miliar yang terdiri dari Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar dengan kurs Rp11.900).
Tidak hanya suap, ketiga hakim juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Perbuatan mereka diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 B jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kronologi Kasus Suap Vonis Bebas Ronald Tannur
Kasus ini bermula dari vonis bebas yang diberikan kepada Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan pada tahun 2024. Vonis tersebut kemudian dipertanyakan dan diselidiki lebih lanjut, yang akhirnya mengungkap dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan ketiga hakim nonaktif PN Surabaya. Proses hukum terus berlanjut, dengan tuntutan hukuman penjara yang cukup berat terhadap para terdakwa. Publik menantikan putusan pengadilan dan berharap keadilan ditegakkan dalam kasus ini.
Perlu ditekankan bahwa seluruh informasi di atas berdasarkan laporan berita dan belum merupakan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Proses hukum masih berlanjut dan akan menentukan nasib ketiga hakim nonaktif tersebut.
Semoga kasus ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak dalam menegakkan hukum dan integritas peradilan di Indonesia.