Hakim Kasus Vonis Bebas Ronald Tannur Divonis 7 Tahun Penjara
Dua hakim nonaktif PN Surabaya yang membebaskan Ronald Tannur divonis 7 tahun penjara dan denda Rp500 juta karena terbukti menerima suap dan gratifikasi.

Pengadilan Tipikor Jakarta telah menjatuhkan vonis 7 tahun penjara kepada dua hakim nonaktif Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik dan Mangapul. Keduanya terbukti bersalah dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pemberian vonis bebas kepada terpidana pembunuhan, Ronald Tannur, pada tahun 2024. Vonis ini dibacakan pada Kamis, 8 Mei 2024, di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Hakim Ketua Teguh Santoso menyatakan, "Menyatakan para terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dengan menerima suap dan gratifikasi." Selain hukuman penjara, Erintuah dan Mangapul juga diwajibkan membayar denda Rp500 juta subsider 3 bulan penjara jika denda tidak dibayar. Perbuatan mereka melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Majelis hakim mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Perbuatan kedua terdakwa dinilai tidak mendukung program pemerintah untuk menciptakan penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta melanggar sumpah jabatan mereka sebagai hakim. Namun, majelis hakim juga mempertimbangkan hal meringankan, yaitu bahwa kedua terdakwa belum pernah dihukum, memiliki tanggungan keluarga, bersikap kooperatif, dan telah mengembalikan uang yang diterima dari penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
Vonis Lebih Ringan dari Tuntutan Jaksa
Putusan ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut pidana penjara 9 tahun dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan penjara. Erintuah dan Mangapul, bersama hakim nonaktif lainnya, Heru Hanindyo, didakwa menerima suap sebesar Rp4,67 miliar yang terdiri dari Rp1 miliar dan 308.000 dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar). Mereka juga diduga menerima gratifikasi dalam bentuk rupiah dan mata uang asing lainnya.
Perbuatan para terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 B jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pembacaan putusan untuk Heru Hanindyo dilakukan secara terpisah.
Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan sudah memenuhi rasa keadilan. Kooperasi kedua terdakwa dalam memberikan keterangan yang mendukung pembuktian dalam perkara lain atas nama terdakwa Heru Hanindyo, Lisa Rachmat, Meirizka Widjaja, dan Zarof Ricar juga menjadi pertimbangan. Mengembalikan uang yang diterima dari penasihat hukum Ronald Tannur menunjukkan iktikad baik dari kedua terdakwa.
Putusan ini diharapkan memberikan efek jera dan penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan korupsi di lingkungan peradilan. Kasus ini juga menjadi sorotan publik terkait pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam sistem peradilan Indonesia.
Proses hukum ini masih berlanjut dengan pembacaan putusan terhadap Heru Hanindyo secara terpisah. Publik menantikan putusan tersebut untuk melengkapi rangkaian proses peradilan dalam kasus ini.
Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem peradilan Indonesia untuk mencegah terjadinya praktik korupsi dan memastikan keadilan bagi semua pihak.