Pengacara Ronald Tannur Didakwa Suap Hakim PN Surabaya dan MA
Penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, didakwa menyuap hakim di PN Surabaya dan MA senilai total Rp6 miliar dan 308 ribu dolar Singapura agar kliennya bebas dari dakwaan pembunuhan.
![Pengacara Ronald Tannur Didakwa Suap Hakim PN Surabaya dan MA](https://cdns.klimg.com/mav-prod-resized/0x0/ori/image_bank/2025/02/11/000159.083-pengacara-ronald-tannur-didakwa-suap-hakim-pn-surabaya-dan-ma-1.jpg)
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung) menjerat Lisa Rachmat, pengacara terpidana pembunuhan Ronald Tannur, atas dugaan suap kepada hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dan Mahkamah Agung (MA). Kasus ini mengejutkan publik dan menimbulkan pertanyaan besar tentang integritas sistem peradilan. Dakwaan tersebut disampaikan pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 10 Februari 2024.
Suap di PN Surabaya dan MA
Menurut JPU Parade Hutasoit, Lisa Rachmat didakwa memberikan suap sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura kepada hakim di PN Surabaya, serta Rp5 miliar kepada hakim di MA. Tujuannya jelas: memanipulasi putusan kasus Ronald Tannur, baik di tingkat pertama maupun kasasi. "Supaya majelis hakim di tingkat pertama menjatuhkan putusan bebas Ronald Tannur dan di tingkat kasasi memperkuat putusan bebas itu," ungkap JPU dalam surat dakwaan. Ini menunjukkan upaya sistematis untuk mempengaruhi proses hukum.
Lisa Rachmat terancam hukuman berat berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf a juncto Pasal 18 dan Pasal 15 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kronologi Kasus Suap
Perkara ini bermula saat ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja, meminta Lisa Rachmat untuk menjadi penasihat hukum anaknya. Lisa kemudian meminta sejumlah uang kepada Meirizka untuk mengurus perkara tersebut. Sebelum perkara dilimpahkan ke PN Surabaya, Lisa bertemu dengan mantan pejabat MA, Zarof Ricar (perantara), dan tiga hakim PN Surabaya: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo. Pertemuan ini bertujuan untuk mempengaruhi putusan hakim.
Majelis hakim di PN Surabaya yang menangani kasus Ronald Tannur (Nomor 454/Pid.B/2024/PN SBY) terdiri dari Erintuah Damanik (Ketua), Mangapul, dan Heru Hanindyo sebagai hakim anggota. Mereka menerima suap sebesar Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura dari Lisa Rachmat. Uang tersebut berasal dari Meirizka Widjaja, baik secara tunai maupun transfer.
Berkat suap tersebut, Ronald Tannur dibebaskan oleh PN Surabaya pada 24 Juli 2024 (Putusan Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby). Namun, upaya manipulasi tidak berhenti di tingkat pertama. Lisa Rachmat, melalui Zarof Ricar, juga berupaya memengaruhi putusan kasasi di MA.
Upaya Pengaruh di Tingkat Kasasi
Majelis hakim kasasi perkara Ronald Tannur terdiri atas Hakim Ketua Soesilo, dan hakim anggota Sutarjo dan Ainal Mardhiah (Penetapan Ketua MA Register 1466/K/Pid/2024 tanggal 6 September 2024). Lisa Rachmat memberi tahu Zarof Ricar tentang susunan majelis hakim ini. Zarof, yang mengaku mengenal Soesilo, dijanjikan Rp1 miliar jika berhasil memengaruhi majelis hakim agar menguatkan putusan bebas dari PN Surabaya. Lisa menjanjikan total Rp6 miliar, dengan Rp5 miliar untuk majelis hakim dan Rp1 miliar untuk Zarof.
Zarof bertemu Soesilo pada 27 September 2024 di Makassar. Ia menyampaikan permintaan Lisa, dan Soesilo berjanji akan melihat perkaranya. Pada 1 dan 2 Oktober 2024, Lisa menyerahkan Rp5 miliar kepada Zarof dalam pecahan dolar Singapura untuk biaya pengurusan kasasi. Namun, majelis kasasi membatalkan vonis bebas pada 22 Oktober 2024, dengan adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Soesilo yang menyatakan Ronald Tannur tidak terbukti bersalah.
Kesimpulan
Kasus ini mengungkap dugaan praktik suap yang sistematis dalam sistem peradilan Indonesia. Dakwaan terhadap Lisa Rachmat dan potensi keterlibatan hakim di PN Surabaya dan MA menimbulkan kekhawatiran publik terhadap integritas dan keadilan dalam proses hukum. Proses hukum selanjutnya akan menentukan nasib para terdakwa dan dampaknya terhadap kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.