Ahli Hukum: Hakim Dilarang Bertemu Pihak Berperkara, Vonis Bebas Ronald Tannur Dipertanyakan
Pakar hukum pidana Unsoed mengungkapkan hakim dilarang bertemu pihak berperkara, termasuk penasihat hukum, dan menyebut pertemuan tersebut dapat menjadi indikasi suap dalam kasus vonis bebas Ronald Tannur.

Sidang kasus dugaan suap hakim atas vonis bebas terpidana Ronald Tannur kembali bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta. Pada Selasa, 11 Maret, ahli hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Hibnu Nugroho, memberikan kesaksian penting terkait etika dan integritas hakim. Hibnu menegaskan bahwa hakim dilarang menemui pihak-pihak yang berperkara dalam suatu kasus, termasuk penasihat hukum. Pertemuan tersebut dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan mempengaruhi putusan hukum yang adil.
Hibnu menjelaskan, seorang hakim memiliki batasan sosial yang ketat saat menangani perkara. "Jadi ada sisi sosial yang hilang, sehingga memang lebih baik kalau gajinya tinggi karena ketemu orang tidak boleh, makan pun kadang-kadang tidak boleh. Saking hati-hatinya," ungkap Hibnu dalam persidangan. Ia menekankan pentingnya menjaga independensi dan objektivitas hakim agar putusan yang dikeluarkan bebas dari intervensi pihak luar.
Lebih lanjut, Hibnu memaparkan bahwa ajakan pertemuan dari pihak berperkara, apalagi yang berkaitan dengan perkara yang ditangani, harus ditolak oleh hakim. Hal ini untuk menghindari potensi terjadinya tindakan yang melanggar hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Pertemuan Hakim dan Pihak Berperkara: Indikasi Suap?
Hibnu menilai, rangkaian pertemuan antara penasihat hukum tersangka dengan hakim yang menangani perkara, apalagi disertai pemberian uang, menunjukkan upaya untuk mempengaruhi putusan. Hal ini semakin menguat jika pemberian uang tersebut dilakukan sebelum putusan dijatuhkan. "Kalau sebelum itu sudah masuk kualifikasi suap tadi. Jadi menurut kami itu sempurna, apa yang dilakukan dari ilustrasi kasus yang bersangkutan tadi," tegas Hibnu.
Kesaksian Hibnu menjadi sorotan utama dalam persidangan ini. Pernyataannya menggarisbawahi pentingnya integritas dan profesionalisme hakim dalam menegakkan hukum. Pertemuan antara hakim dan pihak berperkara, menurutnya, berpotensi menciptakan celah bagi praktik suap dan korupsi dalam sistem peradilan.
Hibnu juga menekankan bahwa tindakan tersebut dapat merusak kepercayaan publik terhadap keadilan dan integritas sistem peradilan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran etika dan hukum oleh hakim.
Kasus Dugaan Suap Tiga Hakim Nonaktif
Kasus dugaan suap ini melibatkan tiga hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya: Erintuah Damanik, Heru Hanindyo, dan Mangapul. Ketiganya didakwa menerima suap sebesar Rp4,67 miliar terkait vonis bebas terpidana pembunuhan, Ronald Tannur, pada tahun 2024. Suap tersebut terdiri dari Rp1 miliar dan 308 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,67 miliar dengan kurs Rp11.900).
Selain suap, ketiganya juga diduga menerima gratifikasi berupa uang dalam berbagai mata uang asing, termasuk dolar Singapura, ringgit Malaysia, yen Jepang, euro, dan riyal Saudi. Perbuatan para terdakwa disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyoroti potensi korupsi dalam sistem peradilan. Proses persidangan diharapkan dapat mengungkap seluruh fakta dan memberikan keadilan bagi semua pihak.
Pernyataan ahli Hibnu Nugroho memberikan gambaran penting tentang etika dan integritas yang harus dipegang teguh oleh hakim dalam menjalankan tugasnya. Kasus ini juga menjadi pengingat pentingnya pengawasan dan reformasi di lingkungan peradilan untuk mencegah praktik-praktik koruptif.