Kejagung Ajukan Banding atas Vonis 10 Tahun Penjara Hakim Heru Hanindyo
Kejaksaan Agung akan mengajukan banding terhadap vonis 10 tahun penjara untuk Hakim Heru Hanindyo yang dinilai terlalu ringan atas kasus suap dan gratifikasi.

Jaksa Agung telah memutuskan untuk mengajukan banding atas vonis 10 tahun penjara terhadap Heru Hanindyo, hakim nonaktif Pengadilan Negeri Surabaya. Vonis tersebut dijatuhkan terkait kasus suap dan gratifikasi yang melibatkan pemberian vonis bebas kepada terpidana Ronald Tannur. Keputusan banding ini diambil setelah Heru Hanindyo sendiri mengajukan banding atas putusan tersebut.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa pengajuan banding oleh Kejagung merupakan konsekuensi logis dari langkah banding yang dilakukan oleh Heru Hanindyo. "Kami sudah tegaskan bahwa kalau yang bersangkutan mengajukan upaya hukum, katakan banding, tentu jaksa penuntut umum juga harus menyatakan banding," tegas Harli. Proses pengajuan banding ini saat ini tengah dipersiapkan oleh tim jaksa penuntut umum, termasuk penyusunan memori banding.
Pengajuan banding oleh Kejagung juga didasari oleh aspek administrasi tertentu yang perlu dipenuhi. Saat ini, tim jaksa tengah mengumpulkan dan mempersiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk mendukung pengajuan banding tersebut. Proses ini dijalankan secara cermat dan teliti untuk memastikan kelengkapan dan kekuatan argumen hukum dalam memori banding yang akan diajukan.
Alasan Banding Kejagung dan Pihak Heru Hanindyo
Kejaksaan Agung menilai vonis 10 tahun penjara terhadap Heru Hanindyo masih terlalu ringan. Hal ini mengingat beratnya perbuatan yang dilakukan Heru Hanindyo, yaitu menerima suap dan gratifikasi yang berujung pada vonis bebas yang tidak adil bagi korban. Kejagung berpendapat bahwa putusan pengadilan tingkat pertama belum sepenuhnya mencerminkan keadilan dan kepastian hukum.
Di sisi lain, Heru Hanindyo melalui penasihat hukumnya, Farih Romdoni Putra, juga mengajukan banding. Farih berargumen bahwa majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta belum mempertimbangkan poin-poin penting dalam pleidoi atau nota pembelaan kliennya. "Faktanya penyerahan uang dari Lisa (penasihat hukum terpidana Ronald Tannur) ke Pak Heru tidak dapat dibuktikan dan di hari yang dituduhkan ada bagi-bagi uang antara hakim pun Pak Heru tidak ada di Surabaya," jelas Farih.
Banding yang diajukan oleh Heru Hanindyo didasarkan pada ketidaksetujuan atas bukti-bukti yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Pihaknya menilai bahwa bukti-bukti tersebut tidak cukup kuat untuk membuktikan kesalahan Heru Hanindyo secara meyakinkan. Oleh karena itu, mereka berharap agar putusan banding nantinya dapat memberikan keadilan bagi Heru Hanindyo.
Kronologi Kasus dan Putusan Pengadilan
Heru Hanindyo divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti menerima suap dan gratifikasi terkait pemberian vonis bebas kepada Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan pada tahun 2024. Ia dinyatakan melanggar Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12B juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan. Perbedaan antara tuntutan jaksa dan vonis hakim ini menjadi salah satu dasar bagi Kejaksaan Agung untuk mengajukan banding. Proses hukum selanjutnya akan menentukan apakah vonis terhadap Heru Hanindyo akan diperberat atau tetap.
Kasus ini menyoroti pentingnya integritas dan akuntabilitas dalam sistem peradilan. Proses hukum yang sedang berjalan diharapkan dapat memberikan keadilan bagi semua pihak dan memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik dan transparan.
Baik Kejaksaan Agung maupun pihak Heru Hanindyo sama-sama berharap agar putusan banding dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum. Publik pun menunggu dengan penuh perhatian proses hukum selanjutnya dalam kasus ini.