Fakta Unik Aceh: Belum Punya Pabrik Hilirisasi Sawit, Pemprov Harap Perusahaan Global Genjot Investasi Sawit Aceh
Pemerintah Aceh gencar ajak perusahaan global berinvestasi membangun Pabrik Hilirisasi Sawit Aceh, mengingat potensi besar namun belum ada industri hilir di Tanah Rencong. Akankah terwujud?

Banda Aceh – Pemerintah Provinsi Aceh secara aktif mengajak perusahaan-perusahaan global untuk menanamkan modalnya di sektor kelapa sawit, khususnya dalam pembangunan pabrik hilirisasi atau refinery. Ajakan ini disampaikan langsung oleh Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, dalam forum peluncuran kelompok kerja kemitraan kelapa sawit berkelanjutan yang diselenggarakan di Banda Aceh pada Rabu lalu.
Langkah strategis ini diambil mengingat Aceh, meskipun memiliki potensi besar dalam produksi minyak kelapa sawit mentah (CPO), belum memiliki satu pun industri hilir yang mampu memberikan nilai tambah signifikan. Kehadiran pabrik hilirisasi diharapkan dapat mengolah CPO menjadi produk turunan seperti minyak makan, mentega, atau kosmetik, sehingga meningkatkan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Forum tersebut dihadiri oleh sejumlah perusahaan multinasional terkemuka di industri kelapa sawit, termasuk Unilever, Pepsico, Nestle, Mars, Mondelez, Musim Mas, Apical, Permata Hijau Group, dan Sinar Mas. Kehadiran perwakilan dari Kedutaan Besar Belanda, Denmark, dan Norwegia juga menunjukkan dukungan internasional terhadap inisiatif investasi hijau di Aceh.
Potensi Kelapa Sawit Aceh dan Komitmen Berkelanjutan
Aceh saat ini memiliki 63 pabrik kelapa sawit (PKS) yang beroperasi, dengan total luas perkebunan sawit mencapai sekitar 470 ribu hektare. Dari luasan tersebut, Aceh mampu menghasilkan lebih dari satu juta ton minyak kelapa sawit mentah (CPO) setiap tahunnya. Angka ini menyumbang sekitar 2,41 persen dari total produksi CPO nasional, menunjukkan posisi Aceh sebagai salah satu produsen penting di Indonesia.
Pemerintah Aceh menunjukkan komitmen kuat terhadap pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dengan menetapkan dua kebijakan utama. Kebijakan tersebut meliputi peta jalan kelapa sawit berkelanjutan 2023-2045 yang diatur dalam Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2024, serta rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan Aceh 2023-2026 melalui Peraturan Gubernur Nomor 17 Tahun 2024.
Melalui kebijakan ini, Pemerintah Aceh bertekad untuk merespons permintaan pasar global akan kelapa sawit yang bebas deforestasi dan inklusif bagi petani. Fadhlullah menegaskan bahwa tujuan utama adalah memperkenalkan kepada dunia bahwa sawit di Aceh tumbuh dari perkebunan legal, berkualitas baik, dan bebas dari praktik deforestasi, sejalan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Mendorong Investasi Hilirisasi dan Infrastruktur Pendukung
Meskipun memiliki produksi CPO yang melimpah, Aceh masih sangat bergantung pada ekspor bahan mentah karena ketiadaan industri hilir. Oleh karena itu, harapan besar diletakkan pada perusahaan global untuk berinvestasi dalam pembangunan refinery yang berkelanjutan di Aceh, baik untuk produksi minyak makan, kosmetik, maupun produk turunan sawit lainnya yang dapat memberikan nilai tambah signifikan.
Dalam rangka mendukung iklim investasi yang kondusif, Pemerintah Aceh juga terus berupaya memperbaiki dan memperkuat infrastruktur. Saat ini, Aceh telah dilengkapi dengan satu bandara internasional, 10 bandara lokal, lima pelabuhan perikanan internasional, dan lima pelabuhan domestik. Selain itu, ketersediaan energi didukung oleh satu gas engine power plant, satu hydropower, satu stempower, satu interkoneksi, serta 23 perusahaan air minum.
Pembangunan infrastruktur vital lainnya juga sedang digenjot, termasuk pembangunan jalan tol yang akan menghubungkan ibu kota provinsi Aceh dengan perbatasan Sumatera Utara. Pemerintah juga tengah memperjuangkan peningkatan infrastruktur di wilayah barat selatan Aceh, khususnya pembangunan terowongan yang akan menghubungkan Gunung Paro-Kulu dan Geurutee, demi kelancaran logistik dan konektivitas.