Hari Pendidikan Nasional: Inklusi Disabilitas, Tantangan yang Belum Terselesaikan
Peringatan Hari Pendidikan Nasional menyoroti masih terbatasnya akses pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas di Indonesia, meskipun terdapat regulasi pendukung.

Jakarta, 6 Mei (ANTARA) - Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap tahun untuk meningkatkan kesadaran kolektif tentang pentingnya pendidikan dalam kehidupan masyarakat. Namun, suara penyandang disabilitas seringkali tak terdengar.
Di negara yang menjunjung tinggi semboyan Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity), akses pendidikan bagi penyandang disabilitas masih terbatas. Mereka masih berjalan sendiri, melewati lorong-lorong sunyi, di sepanjang jalan yang seringkali bertabrakan dengan ketidaktahuan, diskriminasi, dan sistem yang tidak ramah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan lebih dari 22 juta penyandang disabilitas di Indonesia, namun hanya sebagian kecil yang berhasil menyelesaikan pendidikan dasar, dan bahkan lebih sedikit yang mengakses pendidikan tinggi. Laporan 'Landscape Analysis of Children with Disabilities in Indonesia,' yang dirilis oleh UNICEF dan BAPPENAS pada Desember 2023, menemukan bahwa anak-anak penyandang disabilitas mengalami kesenjangan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan inklusi sosial.
Akses Pendidikan yang Terbatas
Meskipun jumlah sekolah inklusif meningkat 29 persen dari tahun 2020 hingga 2021, anak-anak penyandang disabilitas masih memiliki lebih sedikit kesempatan untuk bersekolah dan menyelesaikan pendidikan mereka dibandingkan dengan teman-teman mereka yang tidak memiliki disabilitas. Mereka yang bersekolah pun masih menghadapi kesenjangan dalam kegiatan belajar mereka, seperti ruang kelas, kurikulum, guru, dan stigma sosial yang tidak sesuai, semuanya membatasi kemampuan mereka untuk merangkul masa depan.
Sayangnya, masyarakat cenderung memandang batasan-batasan ini sebagai hal yang normal. Masyarakat terbiasa melihat pendidikan sebagai hak yang harus 'diberikan' hanya ketika seseorang dianggap 'normal'. Padahal, pendidikan bukanlah hadiah atau penghargaan, melainkan jalan yang seharusnya disetarakan bagi siapa pun, terlepas dari perbedaan fisik, jasmani, atau intelektual mereka.
"Setiap anak, tanpa memandang kemampuannya, berhak mendapatkan kesempatan yang setara untuk berkembang," tegas Perwakilan UNICEF untuk Indonesia, Maniza Zaman. Sayangnya, anak-anak penyandang disabilitas terus menghadapi ketidaksetaraan dalam semua aspek perkembangan mereka. Sudah saatnya semua orang mengakui dan mengatasi tantangan ini untuk menciptakan lingkungan inklusif yang membuka potensi tanpa batas setiap anak.
Regulasi Pendukung yang Belum Optimal
Aisyah Wina Putri, pendiri Yayasan Teman Hebat Berkarya, sebuah lembaga untuk pendidikan dan pemberdayaan penyandang disabilitas dewasa, menyatakan bahwa akses pendidikan yang setara belum sepenuhnya terwujud. Menurut Putri, sistem dan praktik saat ini belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. "Ini adalah salah satu kendala utama yang membuat banyak siswa berkebutuhan khusus terabaikan," katanya.
Ia percaya sudah saatnya mewujudkan lingkungan belajar yang lebih inklusif di mana setiap orang, tanpa memandang kondisi atau kemampuannya, dapat didukung untuk berkembang secara optimal. Indonesia memiliki berbagai peraturan terkait hal ini. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara eksplisit menyatakan bahwa setiap penyandang disabilitas berhak menerima pendidikan berkualitas di satuan pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif juga menyatakan bahwa sekolah negeri harus terbuka bagi anak berkebutuhan khusus. Namun, dalam praktiknya, peraturan-peraturan ini belum diterapkan secara optimal. Banyak sekolah yang kekurangan fasilitas dan infrastruktur pendukung, seperti aksesibilitas bangunan, alat bantu belajar, dan pendidik yang memahami pendekatan individual dan komunikasi alternatif. Beberapa sekolah bahkan secara halus menolak untuk menerima siswa penyandang disabilitas.
Menuju Pendidikan Inklusif yang Sesungguhnya
Hari Pendidikan Nasional seharusnya mendorong semua pemangku kepentingan untuk meninjau kembali perkembangan pendidikan di negara ini. Sudah saatnya bangsa ini berhenti menafsirkan pendidikan sebagai acara seremonial dengan slogan dan janji, dan mulai melihatnya sebagai ruang konkret di mana keadilan sosial diuji. Pendidikan inklusif bukan hanya tentang membangun sekolah khusus atau mengintegrasikan siswa penyandang disabilitas ke sekolah reguler.
Lebih jauh, pendidikan inklusif berarti merancang sistem pendidikan yang menghormati berbagai gaya belajar, menawarkan kurikulum yang fleksibel, dan mempersiapkan guru dan masyarakat untuk merangkul perbedaan. Indonesia dapat belajar dari negara-negara seperti Finlandia dan Kanada yang telah lama mengintegrasikan pendekatan pendidikan inklusif ke dalam sistem nasional mereka. Di negara-negara tersebut, anak-anak penyandang disabilitas tidak perlu meminta perhatian. Mereka menerima hak yang sama secara struktural dan kultural.
Indonesia membutuhkan langkah-langkah konkret mulai dari pendanaan afirmatif untuk sekolah inklusif, pelatihan berkelanjutan bagi guru, hingga kampanye publik untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap disabilitas. Pemerintah pusat dan daerah harus menetapkan target kuota untuk mengikutsertakan anak-anak penyandang disabilitas dalam sistem pendidikan nasional, sebagai indikator kemajuan bangsa.
Namun, tanggung jawab ini juga meluas kepada masyarakat sipil, media, dunia usaha, dan komunitas pendidikan sebagai bagian dari gerakan ini. Diperlukan ekosistem kolaboratif, di mana penyandang disabilitas bukan hanya penerima bantuan, tetapi juga terlibat sebagai subjek perubahan, sebagai guru, pembicara, pembuat kebijakan, dan inspirasi bagi orang lain. Pendidikan inklusif bukan tentang mengasihani mereka yang berbeda, tetapi tentang merayakan perbedaan sebagai bagian dari kekayaan intelektual bangsa.
Makna Hari Pendidikan Nasional harus dihidupkan dengan keberanian untuk bertanya: sudahkah kita memberi ruang bagi anak-anak yang paling terpinggirkan, yang paling dibungkam, yang paling diabaikan untuk belajar dan tumbuh? Jika jawabannya tidak, maka Hari Pendidikan Nasional seharusnya menjadi hari refleksi, bukan perayaan. Pendidikan sejati membebaskan, dan kebebasan itu tidak dapat dimonopoli oleh tubuh atau pikiran yang dianggap sempurna. Di kelas yang adil, semua anak duduk sejajar, bukan karena mereka sama, tetapi karena mereka sama berharganya. Di situlah Hari Pendidikan Nasional menemukan makna yang paling sejati.