Hendry Lie Didakwa Terima Rp1,06 Triliun dalam Kasus Korupsi Timah
Pengusaha Hendry Lie didakwa menerima Rp1,06 triliun dari korupsi pengelolaan timah PT Timah periode 2015-2022, yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.

Pengusaha Hendry Lie menjadi sorotan setelah didakwa menerima uang fantastis sebesar Rp1,06 triliun terkait kasus korupsi pengelolaan timah. Dakwaan ini dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Kamis lalu, menyangkut dugaan korupsi di PT Timah Tbk periode 2015-2022.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Feraldy Abraham Harahap, menjelaskan uang tersebut diterima Hendry melalui PT Tinindo Internusa. Uang itu diduga berasal dari pembelian bijih timah ilegal. Metode yang digunakan meliputi borongan pengangkutan sisa hasil pengolahan (SHP), sewa smelter, dan manipulasi harga pokok produksi (HPP) PT Timah.
Menurut JPU, "Terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi." Akibat perbuatannya, Hendry bersama terdakwa dan terpidana lain, diduga telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp300 triliun, jumlah yang sangat signifikan.
Dakwaan terhadap Hendry didasarkan pada Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Sebagai pemilik saham mayoritas PT Tinindo Internusa, Hendry diduga memerintahkan Rosalina (General Manager Operasional) dan Fandy Lingga (Marketing 2008-2018) untuk membuat surat penawaran kerja sama sewa alat processing timah kepada PT Timah. Kerja sama ini melibatkan beberapa smelter swasta, yang diketahui tidak memiliki Competent Person (CP) yang memadai, dan menggunakan format surat yang telah disiapkan PT Timah.
Lebih lanjut, Hendry, bersama Fandy dan Rosalina, melalui PT Tinindo Internusa dan perusahaan afiliasinya (CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, dan CV Semar Jaya Perkasa), diduga melakukan pembelian bijih timah dari penambang ilegal di wilayah IUP PT Timah. Mereka diduga sengaja membentuk perusahaan-perusahaan cangkang ini untuk menerima surat perintah kerja (SPK) pengangkutan dari PT Timah.
Bijih timah ilegal tersebut kemudian dijual ke PT Timah sebagai bagian dari kerja sama sewa peralatan processing. Hendry, Fandy, dan Rosalina pun menerima pembayaran dari PT Timah atas transaksi tersebut, mengetahui asal usul bijih timah yang ilegal. Selain itu, mereka juga menerima pembayaran atas kerja sama sewa peralatan processing yang harganya terindikasi digelembungkan.
JPU juga menyinggung pembayaran biaya pengamanan kepada Harvey Moeis (PT Refined Bangka Tin) sebesar 500-750 dolar AS per ton, yang seolah-olah dicatat sebagai biaya CSR. Besaran harga sewa smelter juga diduga disepakati tanpa studi kelayakan yang memadai, melibatkan Mochtar Riza Pahlewi (Dirut PT Timah 2016-2021), Emil Ermindra (Dirkeu PT Timah 2016-2020), dan Alwin Albar (Direktur Operasi dan Produksi PT Timah 2017-2020).
Kasus ini melibatkan sejumlah pihak dan perusahaan, menunjukkan kompleksitas jaringan yang terlibat dalam dugaan korupsi tersebut. Penyelidikan lebih lanjut akan mengungkap seluruh detail dan pertanggungjawaban masing-masing pihak terkait.