IPAS-OMS Perkuat Jaringan Pemenuhan Hak Kesehatan Korban Kekerasan Seksual di Sulteng
IPAS dan OMS Sulteng berkolaborasi memperkuat jaringan untuk pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual dan layanan komprehensif, menghadapi kendala penegakan hukum dan anggaran.

Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Sulawesi Tengah (Sulteng) bergabung tangan dalam upaya memperkuat jaringan yang mendukung pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual. Kolaborasi ini bertujuan untuk memastikan akses layanan komprehensif bagi para korban di Sulteng. Kolaborasi ini diumumkan pada Sabtu lalu di Palu, bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional.
Athirah Winarsih dari Yayasan IPAS menekankan pentingnya pengembangan wawasan mengenai hak kesehatan korban kekerasan seksual dan keterjangkauan layanan kesehatan. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bertema 'Mengupayakan hak kesehatan dan layanan komprehensif untuk korban kekerasan seksual'. Diskusi ini menjadi wadah untuk memperkuat komitmen bersama dalam memberikan dukungan bagi para korban.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Aliansi Gerakan Perempuan Bersatu Sulteng, Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan - ST (KPKPN- ST), Yayasan Merah Putih, Dinas Kesehatan kabupaten/kota, dan organisasi masyarakat lainnya. Partisipasi multi-pihak ini menunjukkan komitmen bersama untuk mengatasi permasalahan kekerasan seksual di Sulteng.
Kendala Penanganan Kasus Kekerasan Seksual di Sulteng
Dewi Rana Amir dari Aliansi Gerakan Perempuan Bersatu Sulteng mengungkapkan beberapa tantangan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Salah satu kendala utama adalah penegakan hukum yang masih lemah. "Menurut kami, penegakan hukum ini adalah masalah terbesar dalam konteks penanganan kasus kekerasan seksual. Dan juga kendala lainnya berdasarkan catatan kami, adalah terkait anggaran," ujarnya.
Keterbatasan anggaran menjadi ancaman bagi keberlanjutan lembaga-lembaga layanan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Organisasi-organisasi tersebut seringkali menerima laporan dari korban, namun terbatasnya dana menghambat upaya mereka memberikan bantuan yang maksimal. Minimnya anggaran ini menjadi kendala serius dalam memberikan layanan yang komprehensif.
Selain masalah hukum dan anggaran, kendala lain yang dihadapi adalah pelaku kekerasan seksual seringkali merupakan orang terdekat korban, seperti ayah, paman, tetangga, guru mengaji, bahkan dukun. Banyak kasus diselesaikan secara restorative justice (RJ) atau di luar jalur hukum, meskipun hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Dewi Rana menambahkan, "Kadang-kadang pelakunya didenda, dan karena sudah membayar secara adat, menurut pelaku kasus ini sudah tidak lagi dilanjutkan ke proses hukum karena double punishment. Padahal jelas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kasus kekerasan seksual tidak bisa diselesaikan di luar proses hukum." Hal ini menunjukkan adanya celah hukum yang perlu diperbaiki.
Data Kasus dan Peran Pemerintah Daerah
Berdasarkan data yang dicatat oleh Lingkar Belajar Untuk Perempuan Sulteng, terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2021 tercatat sembilan kasus, 16 kasus pada 2022, 15 kasus pada 2023, dan sembilan kasus pada 2024. Data ini menunjukkan pentingnya upaya pencegahan dan penanganan yang lebih efektif.
Anggota Komisi IV DPRD Sulteng, I Nyoman Slamet, menekankan pentingnya efisiensi anggaran tanpa mengorbankan program prioritas, termasuk program yang mendukung perempuan dan korban kekerasan seksual. Ia juga menyampaikan bahwa organisasi yang menangani masalah perempuan berhak mengajukan usulan penganggaran kepada pemerintah daerah dengan mengajukan proposal yang sesuai prosedur.
Pihaknya siap mengawal usulan-usulan tersebut. Hal ini menunjukkan adanya dukungan dari pemerintah daerah dalam upaya penanganan kekerasan seksual. Namun, perlu adanya mekanisme yang lebih jelas dan transparan dalam penyaluran anggaran agar bantuan dapat tepat sasaran dan efektif.
Kerja sama antara IPAS, OMS, dan berbagai organisasi masyarakat sipil lainnya di Sulteng menjadi langkah penting dalam memperkuat upaya pemenuhan hak kesehatan korban kekerasan seksual. Dukungan dari pemerintah daerah juga sangat krusial untuk memastikan keberlanjutan program dan akses layanan yang komprehensif bagi para korban. Penegakan hukum yang lebih efektif juga menjadi kunci dalam mengatasi masalah ini secara menyeluruh.