Kemenperin Minta Polisi Telusuri Aliran Dana Kasus SPK Fiktif
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) meminta polisi menyelidiki aliran dana dalam kasus surat perintah kerja (SPK) fiktif yang melibatkan mantan pejabat, termasuk dugaan aliran dana ke artis dan selebgram.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendesak Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri untuk mengusut tuntas aliran dana dalam kasus surat perintah kerja (SPK) fiktif yang dilakukan oleh mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) berinisial LHS. Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif, menyatakan harapan agar penyidik melacak aliran dana tersebut, khususnya terkait pasal penyuapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Penelusuran Aliran Dana dan Peran Vendor
Menurut Febri, bukti-bukti yang dilaporkan menunjukkan dugaan penampungan dana dari beberapa vendor ke rekening LHS dan rekannya. Sebagian dana tersebut diduga disalurkan ke vendor lain yang sebelumnya telah menerima SPK fiktif, mirip skema ponzi. Sebagian lagi digunakan untuk kepentingan pribadi LHS dan rekannya, termasuk dugaan transfer dana lebih dari Rp400 juta ke artis atau selebgram berinisial M. Penyidik juga diharapkan menelusuri sumber dana yang diberikan vendor kepada rekan LHS, yang diduga berasal dari investor perorangan, lembaga keuangan, dan bahkan pejabat negara.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita melihat kasus ini sebagai momentum untuk membersihkan internal Kemenperin dalam pengelolaan anggaran. Menperin memastikan para pelaksana anggaran, termasuk PPK, bekerja sesuai standar operasional prosedur (SOP).
Bukti-Bukti yang Diserahkan Kemenperin
Kemenperin telah menyerahkan sejumlah bukti kepada Kortas Tipikor, termasuk DIPA Direktorat Industri Industri Kimia Hilir dan Farmasi TA 2023, SK penunjukan dan pengangkatan LHS, SK penjatuhan hukuman disiplin berat LHS, SPK-SPK fiktif, tagihan pembayaran, dan rekapitulasi uang keluar masuk. SPK-SPK fiktif tersebut memiliki beberapa kejanggalan.
Kejanggalan SPK Fiktif
- SPK yang ditandatangani LHS dengan penyedia (investor) tidak terdaftar di Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) Kemenperin dan diterbitkan tanpa melalui SOP.
- Pagu anggaran yang dicatut dalam setiap SPK hanya Rp590.000.000, tidak sesuai dengan nilai pekerjaan yang dibiayai.
- Kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak ketiga tidak melibatkan pegawai Kemenperin.
- Pencairan anggaran tidak melalui kas negara atau KPPN, melainkan rekening pribadi.
Febri menjelaskan, para vendor diduga memberikan uang kepada LHS untuk mendapatkan tender pengadaan dari Kemenperin. LHS menawarkan vendor untuk mengerjakan kegiatan dengan menunjukkan DIPA Kemenperin, namun DIPA yang ditunjukkan berasal dari unit eselon I lain, bukan DIPA Ditjen IKFT.
Imbauan kepada Vendor
Kemenperin mengimbau vendor untuk lebih berhati-hati dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa pemerintah, memverifikasi keabsahan SPK, dan tidak mudah terbujuk iming-iming proyek besar. Kasus ini menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran negara.