Korupsi LPEI: Potensi Kerugian Negara Capai Rp11,7 Triliun, Lima Tersangka Ditetapkan
KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas kredit di LPEI, berpotensi merugikan negara hingga Rp11,7 triliun, melibatkan 11 debitur dari berbagai sektor.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang berpotensi merugikan negara hingga Rp11,7 triliun. Kasus ini melibatkan 11 debitur, dengan lima tersangka telah ditetapkan. Penyelidikan yang dimulai sejak Maret 2024 ini mengungkap praktik penyimpangan dalam pemberian kredit yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dua tersangka berasal dari internal LPEI, yaitu Direktur Pelaksana 1, Wahyudi, dan Direktur Pelaksana 4, Arif Setiawan. Tiga tersangka lainnya berasal dari PT Petro Energy (PE), yakni Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy Jimmy Masrin, Direktur Utama PT Petro Energy Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT Petro Energy Susi Mira Dewi Sugiarta. Kasatgas Penyidik KPK, Budi Sokmo, menjelaskan bahwa sepuluh debitur lainnya masih dalam proses penyelidikan dan penyidikan.
Kasus ini bermula pada tahun 2015 ketika PT PE menerima kredit dari LPEI senilai kurang lebih 60 juta dolar AS (sekitar Rp988,5 miliar) dalam tiga termin. KPK menemukan adanya indikasi kecurangan, termasuk current ratio PT PE yang di bawah 1 (0,86), menunjukkan potensi kesulitan pembayaran. Selain itu, terungkap pula adanya dugaan pembuatan kontrak palsu oleh PT PE dan kelalaian direksi LPEI dalam melakukan inspeksi jaminan dan evaluasi pembayaran kredit.
Dugaan Persekongkolan dan Pengabaian Aturan
Penyidik KPK menemukan bukti dugaan persekongkolan antara direksi PT PE dan direksi LPEI untuk mempermudah proses pemberian kredit. Meskipun adanya laporan dari pihak analis internal LPEI mengenai kondisi keuangan PT PE yang memprihatinkan, kedua direktur LPEI tetap mengucurkan kredit tambahan. Hal ini menunjukkan adanya pengabaian prosedur dan aturan yang berlaku.
“Para direktur tetap memberikan kredit kepada PT PE walaupun kondisi tersebut sudah dilaporkan dari bawah, bahwa sebenarnya PT PE tidak berhak mendapatkan top up sebesar Rp400 miliar dan Rp200 miliar setelah pengucuran yang pertama,” ungkap Budi Sokmo. Mereka mengabaikan masukan dari bawahan dan tetap menyetujui pemberian kredit meskipun berpotensi merugikan negara.
Pertemuan antara direksi PT PE dan direksi LPEI sebelum pencairan kredit semakin memperkuat dugaan persekongkolan jahat. “Mereka bersepakat bahwa untuk proses pemberian kredit itu akan dipermudah,” ujar Budi Sokmo.
Atas perbuatan melawan hukum tersebut, kelima tersangka dijerat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Perhitungan kerugian keuangan negara masih dalam proses penghitungan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sebelas Debitur dan Tiga Sektor Usaha
Total 11 debitur terlibat dalam kasus ini, dengan 10 debitur lainnya masih dalam tahap penyelidikan. Ke-10 debitur tersebut berasal dari tiga sektor utama, yaitu perkebunan, shipping, dan industri energi. KPK belum dapat mengungkapkan identitas ke-10 debitur tersebut karena masih dalam proses penyelidikan lebih lanjut.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena besarnya potensi kerugian negara dan dugaan keterlibatan pihak-pihak di dalam LPEI. KPK berkomitmen untuk mengusut tuntas kasus ini dan menjerat semua pihak yang terlibat, guna mencegah kerugian yang lebih besar bagi negara.
Proses penyidikan akan terus berlanjut, dan KPK akan memberikan informasi lebih lanjut kepada publik seiring dengan perkembangan kasus. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam penanganan kasus korupsi ini.