KPK Optimis Pulihkan Kerugian Negara Rp988,5 Miliar dari Kasus Korupsi LPEI
KPK optimistis akan memulihkan kerugian negara sebesar Rp988,5 miliar akibat kasus korupsi pemberian fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang melibatkan lima tersangka.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan optimisme dalam upaya pemulihan kerugian keuangan negara senilai 60 juta dolar AS atau sekitar Rp988,5 miliar. Kerugian tersebut diakibatkan oleh dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kasus ini terungkap setelah KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka. Peristiwa ini terjadi di Jakarta dan melibatkan direksi LPEI dan pihak swasta.
Kasatgas Penyidik KPK, Budi Sokmo, menyatakan keyakinan KPK untuk memaksimalkan pengembalian uang negara tersebut. Meskipun detail langkah yang akan diambil belum diungkapkan, Budi optimis proses penyidikan akan berujung pada pemulihan kerugian negara sepenuhnya. Pernyataan optimisme ini disampaikan setelah KPK mengumumkan penetapan lima tersangka pada Selasa, 3 Maret 2024.
Penetapan tersangka ini meliputi dua direktur LPEI dan tiga orang dari PT Petro Energy (PT PE). Proses penyidikan yang sedang berjalan diharapkan mampu mengungkap seluruh rangkaian peristiwa dan memastikan pengembalian dana negara yang telah dikorupsi.
Lima Tersangka Kasus Korupsi LPEI
Kelima tersangka yang telah ditetapkan oleh KPK terdiri atas dua direktur LPEI, yaitu Wahyudi (Direktur Pelaksana 1) dan Arif Setiawan (Direktur Pelaksana 4). Tiga tersangka lainnya berasal dari PT PE, yakni Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT Petro Energy), Newin Nugroho (Direktur Utama PT Petro Energy), dan Susi Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan PT Petro Energy).
Kasus ini bermula pada tahun 2015 ketika PT PE menerima kredit dari LPEI senilai kurang lebih 60 juta dolar AS (sekitar Rp988,5 miliar) dalam tiga termin. Termin pertama sebesar Rp297 miliar pada 2 Oktober 2015, diikuti termin kedua Rp400 miliar pada 19 Februari 2016, dan termin terakhir Rp200 miliar pada 14 September 2017.
Fakta yang terungkap menunjukkan adanya penyimpangan prosedur. Direksi LPEI mengetahui bahwa rasio lancar (current ratio) PT PE di bawah 1 (0,86), mengindikasikan potensi kesulitan pembayaran kredit. Selain itu, tidak dilakukan inspeksi terhadap jaminan yang diberikan PT PE, dan ditemukan adanya kontrak palsu yang digunakan sebagai dasar pengajuan kredit.
Pelanggaran Prosedur dan Persekongkolan
Meskipun adanya laporan dari pihak analis dan bawahan mengenai ketidakmampuan PT PE untuk membayar kredit, direksi LPEI tetap mengucurkan dana. Bahkan, ketidaklancaran pembayaran termin pertama pun diabaikan. Budi Sokmo menjelaskan bahwa direksi LPEI mengabaikan masukan tersebut dan tetap memberikan kredit tambahan sebesar Rp400 miliar dan Rp200 miliar.
Lebih lanjut, terungkap adanya pertemuan antara direksi PT PE dan direksi LPEI sebelum pemberian kredit. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan untuk mempermudah proses pemberian kredit. Perbuatan melawan hukum ini menjadi dasar penetapan kelima tersangka oleh KPK.
Saat ini, perhitungan kerugian keuangan negara masih dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
KPK berkomitmen untuk terus mengusut tuntas kasus ini dan memastikan seluruh kerugian negara dapat dipulihkan. Proses hukum akan terus berjalan untuk memberikan keadilan dan efek jera bagi para pelaku korupsi.