Kontroversi Aturan Hakim MA: Bolehkah Tangani Perkara Sama? Sorotan Putusan Kilat 29 Hari Kasus Marubeni vs Sugar Group
Mahkamah Agung (MA) menyatakan hakim boleh menangani perkara dengan objek yang sama. Namun, aturan hakim MA ini memicu kontroversi di kasus Marubeni vs Sugar Group Company.

Mahkamah Agung (MA) baru-baru ini menegaskan bahwa seorang hakim memiliki kewenangan untuk menangani perkara hukum yang memiliki objek serupa, asalkan bukan subjek hukumnya yang sama. Pernyataan ini disampaikan oleh Juru Bicara MA, Yanto, menanggapi laporan kontroversial yang mencuat ke publik.
Penegasan tersebut muncul setelah tim kuasa hukum Marubeni Corporation melaporkan dua Hakim Agung, Syamsul Ma’arif dan Lucas Prakoso, ke Komisi Yudisial (KY). Laporan ini terkait dugaan pelanggaran undang-undang, kode etik, serta pedoman perilaku hakim dalam penanganan perkara Peninjauan Kembali (PK) Nomor 1362 PK/PDT/2024.
Kasus ini melibatkan sengketa bernilai triliunan rupiah antara Marubeni Corporation dan Sugar Group Company, yang keputusannya dinilai tidak wajar. Tim Marubeni menyoroti kecepatan putusan serta potensi konflik kepentingan dari kedua hakim tersebut.
Penjelasan Mahkamah Agung dan Prosedur Penanganan Perkara
Juru Bicara MA, Yanto, menjelaskan bahwa prinsip ini merupakan hal yang lumrah dalam sistem peradilan. Ia memberikan contoh kasus Setya Novanto dan Andi Narogong yang pernah ditanganinya sendiri di tingkat berbeda, namun dengan objek perkara yang berkaitan. Menurutnya, hal ini sah dan tidak melanggar aturan yang berlaku di lingkungan peradilan.
Yanto menambahkan bahwa pihaknya baru mengetahui adanya surat pelaporan dari Marubeni Corporation tersebut. MA akan segera menindaklanjuti laporan ini dengan melakukan pengecekan internal untuk memastikan kebenaran informasi. Proses verifikasi ini penting untuk menjaga integritas dan transparansi lembaga peradilan.
Pernyataan MA ini bertujuan untuk memberikan klarifikasi terkait prosedur penanganan perkara oleh hakim. Penekanan pada "objek perkara" dan bukan "subjek hukum" menjadi kunci dalam memahami batasan kewenangan hakim. Hal ini juga menjadi dasar bagi MA dalam meninjau laporan yang masuk.
Keberatan Marubeni Corporation dan Dugaan Pelanggaran Etik
Di sisi lain, kuasa hukum Marubeni Corporation, Henry Lim, menyatakan keberatan keras terhadap pernyataan MA tersebut. Menurutnya, jika prinsip itu benar, maka putusan kasus Andi Narogong yang diperiksa dan diputus di MA seharusnya dibatalkan. Ini menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang signifikan mengenai interpretasi aturan.
Henry Lim menegaskan bahwa keberatan pihaknya tidak hanya sebatas pelanggaran undang-undang atau kode etik. Lebih jauh, terdapat dugaan praktik suap yang melingkupi Putusan Nomor 1362 PK/PDT/2024. Tim Marubeni menyoroti fakta bahwa kedua Hakim Agung yang dilaporkan pernah menangani perkara terkait sebelumnya, namun tidak mengundurkan diri.
Kejanggalan lain yang disorot adalah waktu putusan yang sangat cepat, yaitu hanya 29 hari, untuk perkara dengan kompleksitas tinggi dan nilai triliunan rupiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai objektivitas dan independensi putusan yang dikeluarkan. Dugaan ini diperkuat dengan pengakuan dari pihak lain yang terlibat dalam kasus serupa.
Pengakuan Suap dan Tuntutan Penegakan Hukum
Dugaan suap dalam kasus ini semakin menguat dengan adanya pengakuan dari mantan pejabat MA, Zarof Ricar. Dalam persidangan pada 7 Mei, Zarof mengaku pernah menerima uang sebesar Rp50 miliar untuk mengurus dan menyuap kasus Sugar Group Company di MA. Pengakuan ini menjadi bukti krusial yang dipegang oleh tim Marubeni Corporation.
Henry Lim menyatakan bahwa pihaknya menduga beberapa perkara yang kalah di Mahkamah Agung adalah akibat dari praktik suap tersebut. Oleh karena itu, Marubeni Corporation mendesak Komisi Yudisial (KY), Kejaksaan Agung (Kejagung), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memeriksa dugaan suap ini secara menyeluruh.
Fakta bahwa petinggi Sugar Group Company, Gunawan Yusuf dan Purwanti Lee, telah dicekal oleh Kejagung semakin memperkuat dugaan adanya praktik korupsi. Pengakuan Zarof Ricar yang menyebut uang Rp50 miliar sebagai "uang terbesar yang saya terima" menjadi indikasi serius yang memerlukan penyelidikan mendalam oleh aparat penegak hukum.