KPK Sita Rp10 Miliar dari Swasta dalam Kasus Korupsi Pengadaan Mesin EDC Bank: Kerugian Negara Capai Rp700 Miliar!
KPK berhasil menyita uang Rp10 miliar dari pihak swasta terkait kasus korupsi pengadaan mesin EDC bank pemerintah, mengungkap potensi kerugian negara hingga Rp700 miliar.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menunjukkan ketegasannya dalam memberantas korupsi di Indonesia. Lembaga antirasuah ini baru saja menyita uang tunai senilai sekitar Rp10 miliar dari sejumlah pihak swasta. Penyitaan ini merupakan bagian dari penyidikan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan mesin electronic data capture (EDC) di salah satu bank pemerintah, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) pada periode 2020–2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi penyitaan tersebut di Jakarta pada Rabu (13/8). Menurut Budi, langkah ini diambil sebagai upaya awal KPK untuk mengoptimalkan pemulihan keuangan negara yang diduga dirugikan. Kasus ini telah menjadi perhatian publik sejak KPK mengumumkan dimulainya penyidikan baru pada 26 Juni 2025, menandai babak baru dalam upaya pengungkapan praktik korupsi di sektor perbankan.
Pengadaan mesin EDC ini memiliki nilai proyek fantastis, mencapai Rp2,1 triliun. KPK menduga adanya kerugian keuangan negara yang signifikan, diperkirakan mencapai Rp700 miliar atau sekitar 30 persen dari total nilai proyek. Angka ini diumumkan KPK pada 1 Juli 2025, menunjukkan skala kerugian yang tidak main-main dan menjadi fokus utama dalam penanganan kasus ini.
Detail Penyitaan dan Latar Belakang Kasus
Penyitaan uang Rp10 miliar dari para pihak swasta yang merupakan pelaksana pengadaan mesin EDC di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) dilakukan dalam sepekan terakhir. Tindakan ini merupakan bagian integral dari strategi KPK untuk mengembalikan aset negara yang diduga dikorupsi. Budi Prasetyo menegaskan bahwa penyitaan ini adalah langkah konkret untuk memastikan akuntabilitas dan memulihkan kerugian yang timbul akibat praktik korupsi.
Sebelumnya, KPK telah mengumumkan dimulainya penyidikan kasus ini pada 26 Juni 2025. Perkembangan signifikan terjadi pada 30 Juni 2025, ketika KPK mengumumkan nilai proyek pengadaan mesin EDC sebesar Rp2,1 triliun dan secara bersamaan mencegah 13 orang untuk bepergian ke luar negeri. Mereka yang dicekal meliputi inisial CBH, IU, DS, MI, AJ, IS, AWS, IP, KS, EL, NI, RSK, dan SRD, mengindikasikan luasnya jaringan yang terlibat dalam kasus ini.
Estimasi kerugian negara sebesar Rp700 miliar, atau 30 persen dari nilai proyek, menjadi sorotan utama. Angka ini menunjukkan dampak serius dari dugaan korupsi terhadap keuangan negara. KPK terus mendalami bagaimana praktik korupsi ini terjadi dan siapa saja pihak yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut, dengan harapan dapat mengungkap seluruh fakta dan membawa para pelaku ke meja hijau.
Penetapan Tersangka dan Peran Mereka
Pada 9 Juli 2025, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin EDC ini. Kelima tersangka tersebut berinisial CBH, IU, DS, EL, dan RSK. Penetapan ini merupakan hasil dari serangkaian penyelidikan dan pengumpulan bukti yang dilakukan oleh penyidik KPK, menandai kemajuan signifikan dalam penanganan perkara ini.
Dua dari lima tersangka yang ditetapkan memiliki posisi strategis di sektor perbankan. Mereka adalah Catur Budi Harto (CBH), yang merupakan mantan Wakil Direktur Utama BRI, dan Indra Utoyo (IU), mantan Direktur Utama Allo Bank. Keterlibatan figur-figur penting ini menunjukkan bahwa dugaan korupsi ini melibatkan level manajemen yang tinggi, memperkuat urgensi penanganan kasus oleh KPK.
Penyidikan masih terus berlanjut untuk mengungkap peran masing-masing tersangka dan pihak lain yang mungkin terlibat. KPK berkomitmen untuk menuntaskan kasus ini secara transparan dan akuntabel, memastikan bahwa setiap pihak yang bertanggung jawab atas kerugian keuangan negara akan menghadapi konsekuensi hukum yang setimpal. Kasus ini menjadi pengingat penting akan perlunya pengawasan ketat dalam setiap proyek pengadaan di lembaga negara.