Mantan Pemain Timnas Menangis, Mohon Ringankan Hukuman Kasus Korupsi
Mantan pemain Timnas U-20, Irfan Raditya, menangis saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor Medan, memohon keringanan hukuman atas kasus korupsi pembangunan gapura UIN Sumut.

Medan, 13 Maret 2024 (ANTARA) - Irfan Raditya (36), mantan pemain Timnas U-20, meneteskan air mata saat membacakan pledoi di Pengadilan Tipikor Medan pada Rabu. Ia didakwa terlibat korupsi pembangunan gapura Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN Sumut) dan memohon keringanan hukuman. Kasus ini melibatkan kerugian negara sebesar Rp365 juta. Peristiwa ini terjadi di Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara.
Dalam nota pembelaannya, Irfan menyatakan penyesalan mendalam atas perbuatannya. Ia mengaku menandatangani dokumen atas perintah atasan tanpa memahami konsekuensinya. "Saya meminta belas kasih kepada majelis hakim yang mulia untuk meringankan hukuman saya," ucap Irfan dengan suara bergetar.
Sebagai mantan pemain Timnas AFF Cup U-20 (Palembang, 2005) dan PSDS Deli Serdang, Irfan menekankan bahwa ia tidak mendapat keuntungan sepeser pun dari proyek tersebut. Ia juga menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak yang dirugikan. "Saya tidak pernah menerima keuntungannya sedikit pun dari proyek itu. Demi Allah, saya bersumpah, semua tanda tangan yang saya lakukan atas dasar perintah atasan tanpa saya tahu konsekuensinya," tegasnya.
Mantan Atlet Nasional Mohon Keringanan Hukuman
Irfan Raditya, dalam pledoinya, mengungkapkan rasa cintanya terhadap negara. Ia menceritakan pengorbanan selama berkarir sebagai pemain sepak bola profesional, termasuk cedera patah tulang yang dialaminya saat membela Indonesia. "Saya terlalu mencintai negara ini. Sejak usia 18 tahun, saya telah berjuang untuk negara ini. Saya teteskan air mata, keringat, dan darah saya untuk negeri ini," ucapnya dengan suara terisak.
Lebih lanjut, Irfan mengungkapkan kesulitan yang dialaminya selama ditahan. Ia mengaku sudah lama terpisah dari istri dan tiga anaknya di Jakarta, tanpa bisa memberikan nafkah dan perhatian. "Saya tinggalkan istri, dan tiga orang anak masih kecil jauh di Jakarta. Tanpa nafkah, tanpa ada yang menjaga, dan sampai detik ini saya belum pernah bertemu dengan mereka karena jarak dan biaya," tutur Irfan, suaranya semakin terisak.
Ia membandingkan keadaannya dengan pihak-pihak lain yang diuntungkan dari proyek tersebut. "Sedangkan orang-orang yang menerima keuntungan atas proyek pembangunan ini bisa tidur nyenyak, tersenyum setiap hari, dan bercengkrama dengan anak serta istrinya. Apakah ini adil untuk saya? Saya hanya meminta keadilan, saya hanya meminta pertolongan, dan saya hanya meminta belas kasih majelis hakim,” jelasnya.
Irfan merasa dirinya hanya menjadi korban dan tumbal dalam kasus ini. "Saya hanya korban, saya hanya tumbal oleh orang yang sekarang mungkin duduk dengan segelas kopi. Tanggungjawabnya membayar kerugian negara telah dibayarkan, sedangkan menerima hukuman badan adalah saya," ucapnya.
Sidang Ditunda, JPU Tuntut 1,5 Tahun Penjara
Setelah mendengarkan pledoi Irfan, Hakim Ketua Sarma Siregar menunda persidangan hingga Rabu (19/3), dengan agenda replik dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Sebelumnya, JPU menuntut Irfan dengan pidana penjara 1,5 tahun dan denda Rp100 juta subsider empat bulan kurungan.
Kepala Cabjari Deli Serdang di Pancur Batu, Yus Iman Mawardin Harefa, menyatakan bahwa perbuatan Irfan terbukti melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Perbuatannya dinilai telah merugikan keuangan negara sebesar Rp365 juta dalam proyek pembangunan gapura UIN Sumut tahun anggaran 2020.
Kasus ini menyoroti pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam proyek pemerintah. Nasib Irfan Raditya kini berada di tangan majelis hakim yang akan memutuskan vonisnya pada persidangan selanjutnya.
Permohonan keringanan hukuman yang disampaikan Irfan dengan air mata dan penyesalan mendalam, menunjukkan betapa berat beban yang dipikulnya. Publik menantikan keputusan pengadilan dan berharap keadilan ditegakkan dalam kasus ini.