Mantan Panitera PN Jaktim Divonis 4 Tahun Penjara Kasus Suap Lahan Pertamina
Mantan Panitera PN Jakarta Timur, Rina Pertiwi, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta terkait kasus suap pengurusan eksekusi lahan Pertamina senilai Rp1 miliar.

Jakarta, 3 Maret 2024 - Rina Pertiwi, mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur periode 2020-2022, telah divonis 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Vonis tersebut terkait kasus korupsi pengurusan eksekusi lahan PT Pertamina (Persero) yang terjadi pada periode 2020-2022. Rina terbukti menerima suap sebesar Rp797,5 juta dari terpidana Ali Sopyan melalui perantara Dede Rahmana untuk mempercepat proses eksekusi putusan peninjauan kembali (PK) Nomor 795 pada 14 November 2019, yang menghukum Pertamina membayar ganti rugi Rp244,6 miliar.
Hakim Ketua Pengadilan Tipikor, Eko Aryanto, menyatakan Rina terbukti bersalah berdasarkan dakwaan alternatif ketiga. Selain pidana penjara, Rina juga dihukum denda Rp200 juta subsider 3 bulan penjara jika denda tidak dibayar. Vonis ini sesuai dengan tuntutan jaksa, meskipun denda yang dijatuhkan lebih ringan dari tuntutan Rp500 juta subsider 3 bulan penjara. Sidang pembacaan putusan digelar pada Senin di Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan Rina tetap ditahan.
Majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan Rina yang tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan keengganannya mengakui kesalahan. Sementara itu, hal yang meringankan adalah sikap Rina yang sopan selama persidangan. Hakim Ketua menyatakan bahwa hukuman yang dijatuhkan sudah memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat. "Majelis berpendapat hukuman atau pemidanaan yang dijatuhkan atas diri terdakwa sekiranya sudah dapat memenuhi rasa keadilan bagi terdakwa dan masyarakat," tutur Hakim Ketua.
Kasus Suap Eksekusi Lahan Pertamina
Kasus ini berawal dari upaya percepatan eksekusi putusan PK Nomor 795 tahun 2019 yang menghukum Pertamina membayar ganti rugi sebesar Rp244,6 miliar. Ali Sopyan, sebagai terpidana, diduga menyuap Rina Pertiwi melalui Dede Rahmana untuk mempercepat proses eksekusi tersebut. Total suap yang diberikan mencapai Rp1 miliar, namun Rina hanya menerima Rp797,5 juta, sementara sisanya diberikan kepada Dede Rahmana.
Uang suap tersebut diberikan secara bertahap. Dede Rahmana memberikan uang tunai sebesar Rp747,6 juta dan transfer sebesar Rp50 juta kepada Rina. Atas perbuatannya, Rina Pertiwi dijerat dengan Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Kasus ini menjadi sorotan publik karena melibatkan pejabat pengadilan dan perusahaan besar seperti Pertamina. Proses hukum yang transparan dan adil diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Putusan ini juga diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi para aparatur negara untuk senantiasa menjunjung tinggi integritas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Korupsi merupakan kejahatan yang merugikan negara dan masyarakat, sehingga upaya pemberantasannya harus terus dilakukan secara konsisten.
Pertimbangan Majelis Hakim
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mempertimbangkan sejumlah faktor yang memberatkan dan meringankan hukuman Rina Pertiwi. Faktor yang memberatkan adalah tindakan Rina yang menghambat program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan ketidakmauannya mengakui kesalahan. Sebaliknya, faktor yang meringankan adalah sikap sopan Rina selama persidangan.
Meskipun vonis 4 tahun penjara sama dengan tuntutan jaksa, majelis hakim memberikan denda yang lebih rendah dari tuntutan. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan yang matang dari majelis hakim dalam menentukan hukuman yang adil dan proporsional terhadap perbuatan Rina Pertiwi. Putusan ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan menjadi contoh bagi pihak lain agar tidak melakukan tindakan serupa.
Proses hukum dalam kasus ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
Dengan putusan ini, diharapkan kasus korupsi serupa dapat dicegah di masa mendatang. Penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam upaya pemberantasan korupsi untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik.