Mengapa Pemberantasan TPPU Penting? Belajar dari Keberanian Buya Hamka untuk Keadilan Sosial
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengancam keadilan sosial dan stabilitas ekonomi. Artikel ini mengulas tantangan pemberantasan TPPU dan pentingnya semangat Buya Hamka dalam menegakkan keadilan.

Ungkapan mendalam dari Buya Hamka, "Berani menegakkan keadilan walaupun mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian," mengingatkan kita akan esensi keberanian sejati. Keberanian ini bukan terletak pada kekuatan fisik semata, melainkan pada keteguhan moral untuk menjunjung tinggi keadilan, bahkan ketika kebenaran yang terungkap justru merugikan diri pribadi.
Semangat yang diwariskan oleh Buya Hamka ini tetap relevan dan menjadi inspirasi krusial di tengah berbagai tantangan sistem hukum Indonesia saat ini. Semangat tersebut sangat dibutuhkan demi membangun sebuah negara yang lebih adil dan bermartabat bagi seluruh rakyatnya.
Berbagai kasus korupsi, suap, dan gratifikasi yang belakangan ini mencuat ke permukaan menjadi pengingat penting bahwa transparansi dan akuntabilitas harus menjadi fondasi utama sistem hukum kita. Penanganan kasus-kasus besar oleh Kejaksaan Agung dan Satgas Anti-Korupsi menunjukkan bahwa negara tidak berdiam diri dalam menghadapi kejahatan ini. Salah satu bentuk kejahatan yang sering luput dari perhatian publik adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), padahal dampaknya sangat besar terhadap stabilitas ekonomi dan keadilan sosial.
Memahami Ancaman Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara sederhana, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) adalah proses menyembunyikan dan menyamarkan uang yang berasal dari tindakan kejahatan, sehingga uang tersebut seolah-olah diperoleh secara sah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menegaskan bahwa TPPU tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU TPPU menyebutkan bahwa hasil tindak pidana yang dimaksud berasal dari berbagai kejahatan, termasuk korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, dan beberapa tindak pidana lainnya. UU TPPU juga memberikan definisi yang lebih luas, mencakup aliran uang dari kejahatan berskala internasional. Stigma di masyarakat seringkali hanya mengaitkan pencucian uang dengan korupsi anggaran negara, padahal TPPU bisa berasal dari banyak kejahatan lain yang diatur oleh undang-undang dan memiliki nilai sangat besar.
Dalam terminologi hukum, TPPU dikenal sebagai follow up crime, artinya kejahatan ini terjadi sebagai akibat atau kelanjutan dari tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan uang kotor. Tindak pidana asal ini kemudian didefinisikan secara rinci dalam Pasal 2 UU TPPU. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai definisi dan ruang lingkup TPPU sangat penting untuk upaya pemberantasannya.
Tantangan dan Solusi dalam Penegakan Hukum TPPU
Pemberantasan pencucian uang di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan signifikan, termasuk proses penyidikan yang kompleks dan memakan waktu. Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat dan aparat hukum tentang mekanisme TPPU juga menjadi hambatan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) seringkali dihadapkan pada keterbatasan kewenangan, di mana fungsinya terbatas pada analisis dan pelaporan tanpa otoritas penyidikan atau penuntutan langsung.
Indikasi pencucian uang kerap terjadi melalui aktivitas digital seperti E-commerce, Judi Online, dan transaksi fiktif perusahaan. Sebagai contoh, seorang pelaku usaha E-commerce yang baru mendirikan bisnisnya namun sudah menghasilkan aset dan keuntungan puluhan miliar tanpa bukti validitas usaha atau transaksi yang sah, mengindikasikan adanya potensi tindak pidana pencucian uang. Fenomena "kaya mendadak" tanpa bukti kepemilikan sah dan aliran dana mencurigakan menjadi alarm penting bagi sistem pengawasan keuangan.
Untuk mengatasi tantangan ini, sistem pengawasan keuangan perlu diperkuat secara signifikan. Kolaborasi antar lembaga, pemanfaatan teknologi digital, dan partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci untuk membangun sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Pemberantasan pencucian uang bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan integritas dalam masyarakat.
Pakar hukum perlu kembali memikirkan ulang substansi penegakan pencucian uang melalui revisi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Revisi ini penting untuk meluruskan adanya persepsi yang berbeda di antara para penegak hukum dalam praktik di lapangan. Lemahnya kapasitas dan kewenangan PPATK dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU harus menjadi fokus perhatian utama saat ini.
Tanpa reformasi yang signifikan, upaya pemberantasan pencucian uang akan terus menghadapi hambatan struktural yang merugikan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan revisi undang-undang yang memberikan kewenangan lebih besar kepada PPATK, termasuk kewenangan melakukan penyidikan awal terhadap kasus yang berindikasi kuat sebagai tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, PPATK tidak hanya berfungsi sebagai lembaga analisis dan pelapor, tetapi juga memiliki kemampuan operasional dalam proses penegakan hukum.
Peran Kolektif dalam Membangun Keadilan Sosial
Pencucian uang bukan sekadar kejahatan finansial biasa; ia adalah ancaman nyata yang merusak keadilan sosial, memperparah ketimpangan, dan semakin menumpulkan hukum. Oleh karena itu, diperlukan gerakan kolektif yang melibatkan pemerintah, aparat penegak hukum, dan masyarakat, karena setiap pihak memiliki peran penting dalam membangun sistem hukum yang kuat dan berintegritas.
Beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan bersama meliputi peningkatan literasi hukum masyarakat tentang TPPU, mendorong transparansi dalam transaksi keuangan digital, dan memperkuat koordinasi antar lembaga penegak hukum. Selain itu, penting juga untuk memberikan ruang yang aman bagi whistleblower dan pelapor dugaan pencucian uang agar mereka berani mengungkapkan informasi penting tanpa rasa takut.
Dengan semangat gotong royong dan keberanian moral seperti yang diungkapkan oleh Buya Hamka, kita dapat bersama-sama membangun Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa kejahatan tidak lagi menjadi jalan pintas menuju kemewahan, dan norma sosial kembali berpihak pada etika dan keadilan.