Meskipun Cuaca Tak Menentu, Ekspor Karet Sumatera Utara Tembus 21 Ribu Ton pada Juni 2025, Eropa Jadi Mitra Strategis
Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) mencatat volume Ekspor Karet Sumatera Utara mencapai 21.795 ton pada Juni 2025. Apa saja tantangan dan peluangnya di tengah dinamika pasar global?

Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara (Sumut) melaporkan bahwa volume ekspor karet alam dari wilayah ini pada Juni 2025 telah mencapai 21.795 ton. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan secara tahunan (year-on-year) dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Sekretaris Eksekutif Gapkindo Sumut, Edy Irwansyah, menjelaskan bahwa kenaikan ekspor tersebut mencapai 11,45 persen jika dibandingkan dengan Juni 2024 yang hanya tercatat 19.557 ton. Peningkatan ini memberikan sinyal positif bagi sektor komoditas karet di tengah berbagai tantangan global.
Meski demikian, volume ekspor karet Sumut pada Juni 2025 mengalami sedikit penurunan sebesar 4,81 persen jika dibandingkan dengan Mei 2025, yang mencapai 22.896 ton. Fluktuasi ini mengindikasikan adanya dinamika pasar dan faktor internal yang perlu diperhatikan lebih lanjut oleh para pelaku industri.
Dinamika Volume Ekspor Karet Sumatera Utara
Peningkatan volume ekspor karet Sumatera Utara secara tahunan pada Juni 2025 menunjukkan resiliensi industri karet di tengah kondisi pasar yang tidak stabil. Kenaikan 11,45 persen dari tahun sebelumnya merupakan indikator positif bagi produksi dan permintaan global terhadap karet alam asal Sumut.
Namun, penurunan bulanan sebesar 4,81 persen dari Mei ke Juni 2025 perlu dicermati. Menurut Gapkindo Sumut, kondisi pasar yang masih tertekan dan terbatasnya pasokan bahan baku dari petani menjadi faktor utama penyebab penurunan ini. Hal ini menyoroti pentingnya stabilisasi pasokan dan dukungan bagi petani karet.
Salah satu kendala utama yang menghambat peningkatan ekspor karet alam adalah terhambatnya produksi akibat cuaca yang tidak menentu. Meskipun telah memasuki musim kemarau, curah hujan yang kerap terjadi di bulan Juni mengganggu aktivitas penyadapan di sejumlah daerah. Kondisi ini secara langsung memengaruhi ketersediaan bahan baku untuk ekspor.
Selain faktor cuaca, rendahnya motivasi petani juga menjadi isu krusial. Tren penurunan harga karet sejak awal April 2025 membuat petani enggan menyadap, yang berdampak pada volume produksi secara keseluruhan. Perlu ada insentif atau kebijakan yang dapat menjaga semangat petani di tengah gejolak harga.
Fluktuasi Harga dan Pasar Tujuan Ekspor Karet
Harga rata-rata ekspor (FOB) karet Sumatera Utara pada Juni 2025 tercatat sebesar 161,49 sen AS per kilogram, menurun dari 171,01 sen AS pada Mei 2025. Penurunan harga ini tentu berdampak pada pendapatan petani dan pelaku usaha di sektor karet.
Meskipun demikian, ada secercah harapan dengan kenaikan harga penutupan per 23 Juli 2025 yang mencapai 171,30 sen AS. Kenaikan ini memberikan indikasi potensi perbaikan pasar dalam waktu dekat, yang diharapkan dapat memicu kembali motivasi petani untuk meningkatkan produksi.
Ekspor karet Sumut pada bulan Juni menjangkau 31 negara tujuan, menunjukkan diversifikasi pasar yang cukup luas. Eropa menjadi kawasan yang menunjukkan peningkatan kontribusi signifikan, dengan 15,34 persen dari total volume ekspor dikirim ke 12 negara Eropa, naik dari 12,75 persen pada Mei.
Distribusi ekspor ke Eropa cukup merata, meliputi Luxembourg (3,70%), Romania (2,03%), Italia (1,93%), Spanyol (1,67%), Latvia (1,48%), Polandia (1,20%), Jerman (0,92%), Prancis (0,83%), Slovenia (0,46%), Bulgaria (0,37%), Belgia (0,37%), dan Belanda (0,37%). Peningkatan minat dari Eropa ini juga berkaitan dengan persiapan buyer menghadapi implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang berlaku mulai 30 Desember 2025, yang mewajibkan produk bebas deforestasi dan memiliki sistem ketelusuran ketat.
Lima negara tujuan utama ekspor karet alam Sumatera Utara pada Juni 2025 masih didominasi oleh pasar tradisional, yaitu Jepang (29,01%), Brasil (14,24%), Amerika Serikat (11,61%), Tiongkok (7,21%), dan India (5,46%). Pasar-pasar ini tetap menjadi penyerap utama, meskipun diwarnai oleh fluktuasi permintaan dan tantangan logistik yang perlu terus diatasi.