Pabrik Rokok di Aceh: Ancaman Kesehatan Publik atau Solusi Ekonomi?
Rencana pembangunan pabrik rokok di Aceh menuai kritik dari IYCTC dan Genita Aceh karena dianggap kontraproduktif terhadap kesehatan masyarakat dan bertolak belakang dengan visi ketahanan pangan nasional.
Rencana pembangunan pabrik rokok di Aceh menimbulkan perdebatan sengit. Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) dan Generasi Peduli Kendali Tembakau (Genita) Aceh secara tegas menolak rencana Gubernur Aceh terpilih untuk mendatangkan investor guna membangun pabrik rokok di Lhokseumawe. Alasannya? Langkah ini dianggap kontraproduktif terhadap kesehatan masyarakat dan bukan solusi tepat untuk mengatasi pengangguran.
Ketua IYCTC, Manik Marganamahendera, menyatakan bahwa menciptakan lapangan kerja melalui industri yang membahayakan kesehatan bukanlah solusi yang etis dan berkelanjutan. Ia menyoroti risiko kesehatan tinggi bagi pekerja pabrik rokok, seperti paparan debu tembakau dan nikotin yang dapat memicu penyakit serius, termasuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Lebih lanjut, Manik menjelaskan bahwa rencana ini bertolak belakang dengan visi Presiden Prabowo Subianto yang memprioritaskan ketahanan pangan. "Alih-alih mengembangkan industri tembakau yang berbahaya, Provinsi Aceh seharusnya fokus pada industri pangan yang lebih produktif dan menjadi prioritas nasional" tegasnya. Ia mengutip studi di sebuah pabrik rokok di Semarang yang menunjukkan 55,6 persen pekerjanya mengalami gangguan fungsi paru akibat paparan tembakau, dengan risiko meningkat tiga kali lipat bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari 10 tahun.
Manik juga menyinggung penelitian Human Rights Watch tahun 2016 yang menemukan kasus keracunan nikotin pada pekerja pabrik rokok, termasuk anak-anak, akibat penyerapan melalui kulit atau inhalasi daun tembakau basah. Ia menilai klaim penciptaan lapangan kerja seringkali menutupi kerugian ekonomi akibat biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas yang mencapai ratusan triliun rupiah per tahun.
Muhammad Hafiz Daniel dari Genita Aceh menambahkan, Aceh memiliki potensi besar di sektor lain yang lebih berkelanjutan, seperti ekowisata, pariwisata budaya, industri kreatif, dan energi terbarukan. "Aceh bisa menjadi contoh pembangunan yang sehat, kreatif, dan inklusif tanpa bergantung pada industri rokok," ujarnya. Ia mencontohkan keberhasilan Thailand dan Uruguay yang fokus pada investasi di sektor berkelanjutan, meningkatkan ekonomi daerah tanpa mengorbankan kesehatan masyarakat.
Kesimpulannya, perdebatan seputar pabrik rokok di Aceh menyoroti pentingnya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan kesehatan publik. Alternatif sektor industri yang lebih berkelanjutan patut dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan melindungi kesehatan masyarakat Aceh.