Pakar Kritik Penggunaan Cukai Rokok untuk Program Makan Bergizi Gratis
Pakar kebijakan publik mengkritik usulan penggunaan dana cukai rokok untuk membiayai Program Makan Bergizi Gratis karena dianggap inkonsisten dan berisiko terhadap keberlanjutan program.
Usulan kontroversial penggunaan dana cukai rokok untuk membiayai Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik UPN Jakarta. Ia menilai usulan tersebut menimbulkan dilema moral dan berpotensi menghambat keberhasilan program jangka panjang.
Achmad, dalam keterangannya di Jakarta Sabtu lalu, mengatakan bahwa penggunaan cukai rokok sebagai sumber pendanaan MBG menciptakan kontradiksi. Rokok, sebagai penyebab utama berbagai penyakit serius, justru digunakan untuk membiayai program peningkatan kesehatan anak. Hal ini dinilai inkonsisten dengan upaya pemerintah dalam menekan angka perokok, khususnya di kalangan anak muda. "Mengandalkan dana cukai rokok, pemerintah secara tidak langsung mendukung konsumsi rokok untuk membiayai program yang bertujuan meningkatkan kesehatan generasi muda," tegas Achmad.
Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani, sebelumnya mengusulkan agar cukai rokok, yang mencapai Rp150 triliun per tahun, digunakan untuk mendanai MBG yang membutuhkan dana hingga Rp420 triliun. Irma menolak usulan pendanaan dari zakat, mengatakan peruntukan zakat sudah diatur dengan jelas.
Meskipun terlihat praktis, Achmad mengingatkan bahwa ketergantungan pada cukai rokok memiliki risiko besar. Pendapatan cukai rokok tidak stabil dan bisa menurun seiring keberhasilan pengendalian tembakau. Hal ini akan mengancam keberlangsungan MBG di masa mendatang.
Lebih jauh, Achmad menekankan perlunya sumber pendanaan yang stabil dan terprediksi untuk MBG. Ketergantungan pada cukai rokok justru menciptakan ketidakpastian finansial yang bisa menghambat program, terutama mengingat masalah gizi buruk dan stunting masih menjadi tantangan besar di Indonesia.
Ia juga menyebut usulan tersebut sebagai solusi reaktif yang hanya menutupi masalah struktural pengelolaan anggaran negara. Sebagai alternatif, Achmad menyarankan optimalisasi belanja negara dan reformasi perpajakan. Dengan meningkatkan efisiensi dan mencegah kebocoran anggaran, pemerintah bisa mengalokasikan dana dari pos anggaran lain atau meningkatkan penerimaan pajak.
Achmad menambahkan, penggunaan cukai rokok untuk MBG dapat memberikan pesan yang salah kepada masyarakat. Pemerintah yang seharusnya mendorong gaya hidup sehat justru terkesan mendukung konsumsi rokok. Hal ini dapat merusak kredibilitas kebijakan kesehatan dan sosial pemerintah.
Sebagai penutup, Achmad menekankan perlunya pemerintah mencari sumber pendanaan yang konsisten dengan visi kesehatan masyarakat. Optimalisasi APBN dan peningkatan penerimaan pajak menjadi solusi yang lebih berkelanjutan dan terhindar dari kontroversi dibandingkan dengan mengandalkan cukai rokok.
"Ketergantungan pada cukai rokok tidak hanya menciptakan kontradiksi dalam kebijakan kesehatan, tetapi juga mengancam keberlanjutan program dalam jangka panjang. Sebagai gantinya, pemerintah harus fokus pada solusi yang lebih holistik dan konsisten dengan visi pembangunan nasional yang sehat dan berkelanjutan," tutup Achmad.