Pakar: TNI Tak Bisa Kembali ke Sistem Dwi Fungsi Era Orde Baru
Pakar keamanan dan pertahanan, Dr. Kusnanto Anggoro, menegaskan TNI tak dapat kembali ke sistem dwi fungsi era Orde Baru, meskipun memiliki peran dalam hal pertahanan dan non-pertahanan.

Jakarta, 3 Maret 2024 (ANTARA) - Pakar keamanan dan pertahanan, Dr. Kusnanto Anggoro, menyatakan dengan tegas bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak dapat kembali ke sistem dwi fungsi yang diterapkan pada era Orde Baru. Pernyataan ini disampaikan dalam diskusi mengenai Rancangan Undang-Undang TNI bersama Komisi I DPR RI di Jakarta, Senin (3/3).
Pada masa Orde Baru, TNI yang saat itu dikenal sebagai ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjalankan sistem dwi fungsi, di mana personel TNI memiliki peran ganda, baik dalam pertahanan negara maupun dalam urusan sosial politik. Namun, menurut Dr. Anggoro, sistem tersebut sudah tidak relevan lagi, terutama karena tidak adanya lagi fraksi militer di dalam DPR.
"Saya pikir kita semua tahu bahwa tidak mungkin lagi untuk kembali ke sistem itu, tetapi istilah tersebut perlu digunakan," tambah Dr. Anggoro. Ia menjelaskan bahwa fungsi TNI dapat dipahami dengan baik dalam kerangka hukum yang berlaku saat ini. TNI memiliki peran terkait pertahanan negara dan juga hal-hal yang bersifat non-pertahanan.
Peran TNI: Tugas, Bukan Fungsi
Dr. Kusnanto Anggoro turut menyoroti pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto yang menyebut TNI bergeser dari dwi fungsi menjadi 'multifungsi'. Menurut Dr. Anggoro, pernyataan tersebut terkait keterlibatan TNI dalam urusan kemasyarakatan dan pemerintahan, seperti penanggulangan bencana. Namun, ia menekankan bahwa aktivitas tersebut harus dilihat sebagai tugas, bukan fungsi.
"Seharusnya tidak terlalu sulit untuk membedakan definisi dan konotasi fungsi, peran, dan tugas karena hal tersebut dijelaskan dengan jelas dalam undang-undang TNI," ujar Dr. Anggoro, Direktur Eksekutif Center for Geopolitics Risk Assessment.
Ia menambahkan bahwa pemahaman yang tepat tentang perbedaan fungsi, peran, dan tugas TNI sangat penting untuk menjaga profesionalisme dan netralitas TNI dalam konteks demokrasi Indonesia saat ini. Menggunakan istilah 'multifungsi' berpotensi menimbulkan interpretasi yang salah dan dapat mengaburkan batasan peran TNI dalam kehidupan bernegara.
Sistem Dwi Fungsi: Masa Lalu yang Tak Bisa Dikembalikan
Lebih lanjut, Dr. Anggoro menjelaskan bahwa sistem dwi fungsi pada masa Orde Baru memiliki konteks historis dan politik yang spesifik. Sistem tersebut terkait erat dengan kondisi politik dan keamanan pada masa itu, yang berbeda jauh dengan kondisi Indonesia saat ini yang telah menganut sistem demokrasi.
Kembalinya sistem dwi fungsi, menurutnya, akan berpotensi menimbulkan berbagai masalah, termasuk ancaman terhadap demokrasi dan supremasi sipil. Oleh karena itu, penting bagi TNI untuk tetap berfokus pada tugas pokoknya, yaitu menjaga kedaulatan negara dan melindungi segenap bangsa Indonesia.
Kesimpulannya, pernyataan Dr. Anggoro menegaskan perlunya pemahaman yang komprehensif dan akurat mengenai peran TNI dalam konteks hukum dan politik Indonesia saat ini. TNI memiliki peran penting dalam pertahanan dan pembangunan nasional, namun peran tersebut harus dijalankan sesuai dengan koridor hukum dan prinsip-prinsip demokrasi.
Pernyataan Panglima TNI perlu dilihat sebagai upaya untuk menjelaskan peran TNI yang lebih luas dalam konteks pembangunan nasional, bukan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali sistem dwi fungsi yang sudah tidak relevan lagi.