PBB Harap AS Patuhi Kewajiban Tuan Rumah, Apa Implikasinya bagi Delegasi Palestina?
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak Amerika Serikat untuk memenuhi Kewajiban Tuan Rumah AS PBB terkait akses delegasi Palestina, menyusul sanksi Washington yang menghambat kehadiran mereka di Markas Besar PBB.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menyatakan harapannya agar Amerika Serikat (AS) mematuhi kewajibannya sebagai negara tuan rumah. Pernyataan ini disampaikan di tengah kekhawatiran mengenai pembatasan akses bagi delegasi Palestina yang diundang untuk menghadiri acara PBB di Markas Besar di New York.
Juru bicara PBB, Farhan Haq, menegaskan kembali pentingnya Perjanjian Negara Tuan Rumah yang mengatur akses individu untuk menjalankan tugas PBB. Desakan ini muncul setelah Washington memberlakukan sanksi terbaru terhadap Otoritas Palestina (PA) dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang berpotensi menghambat kehadiran perwakilan mereka.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai komitmen AS terhadap perjanjian internasional dan dampaknya terhadap partisipasi Palestina dalam forum PBB. PBB berharap AS akan terus menjunjung tinggi kewajiban hukumnya demi kelancaran diplomasi dan kerja sama multilateral.
Desakan PBB atas Kewajiban Tuan Rumah
Dalam pengarahan pers pada Jumat (1/8), Juru bicara PBB Farhan Haq secara eksplisit menyampaikan harapan organisasinya. Ia menekankan bahwa Amerika Serikat, sebagai negara tuan rumah Markas Besar PBB, memiliki kewajiban hukum yang jelas berdasarkan perjanjian yang ada.
Perjanjian Negara Tuan Rumah ini dirancang untuk memastikan bahwa individu yang memiliki tugas terkait PBB dapat masuk ke negara tersebut tanpa hambatan. Harapan PBB adalah agar prinsip ini tetap dihormati, terlepas dari dinamika politik bilateral antara AS dan Palestina.
Pernyataan Haq menggarisbawahi posisi PBB yang netral namun tegas dalam menjamin kelancaran operasional dan partisipasi semua pihak yang relevan. Ini adalah respons langsung terhadap laporan mengenai sanksi yang berpotensi membatasi pergerakan delegasi Palestina.
Latar Belakang Sanksi AS terhadap Palestina
Sebelumnya, pada Kamis (31/7), Departemen Luar Negeri AS mengumumkan serangkaian sanksi yang menargetkan pejabat Otoritas Palestina (PA) dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Sanksi ini didasarkan pada dugaan ketidakpatuhan terhadap resolusi internasional dan tuduhan dukungan terhadap terorisme.
Keputusan pemerintahan Trump ini merupakan tindak lanjut dari laporan yang disampaikan kepada Kongres AS. Laporan tersebut menyoroti dugaan pelanggaran Undang-Undang Kepatuhan tahun 1989 dan Undang-Undang Komitmen Perdamaian Timur Tengah tahun 2002.
Departemen Luar Negeri AS lebih lanjut menjelaskan bahwa sanksi tersebut mencakup pembatasan visa bagi anggota PLO dan pejabat PA. Kebijakan ini secara langsung berimplikasi pada kemampuan delegasi Palestina untuk melakukan perjalanan dan berpartisipasi dalam kegiatan PBB di wilayah AS.
Implikasi dan Harapan Internasional
Pembatasan visa yang diterapkan AS menimbulkan kekhawatiran di kalangan komunitas internasional mengenai akses dan partisipasi delegasi. Situasi ini menyoroti kompleksitas hubungan antara negara tuan rumah dan organisasi internasional.
PBB secara konsisten mengadvokasi pentingnya akses universal bagi semua perwakilan yang sah untuk menjalankan tugas-tugas diplomatik mereka. Kewajiban Tuan Rumah AS PBB menjadi krusial dalam menjaga fungsi PBB sebagai platform multilateral yang inklusif.
Harapan PBB adalah agar dialog dan kepatuhan terhadap perjanjian internasional dapat mengatasi hambatan yang ada. Ini penting untuk memastikan bahwa suara dan partisipasi Palestina, serta semua anggota lainnya, tetap terjamin dalam forum global.