Penempatan Anggota Polri di K/L: Sesuai Aturan, Bukan Dwifungsi Militer
Pendiri Haidar Alwi Institute menilai penempatan anggota Polri di kementerian/lembaga sesuai aturan hukum dan bukan merupakan dwifungsi militer, serta meminta masyarakat tak mudah terprovokasi.

Jakarta, 10 April 2024 - Penempatan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di berbagai kementerian dan lembaga (K/L) belakangan menjadi sorotan. Namun, menurut Pendiri Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, penempatan tersebut sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini disampaikannya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis lalu. Ia menegaskan bahwa tidak ada pelanggaran hukum dalam penempatan tersebut.
Penjelasan Haidar Alwi merujuk pada beberapa pasal dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Ia menekankan bahwa penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian dilakukan atas permintaan K/L terkait dan berdasarkan penugasan dari Kapolri, serta sesuai dengan tugas dan fungsi Polri. Proses penempatan ini juga mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari kualifikasi, kepangkatan, hingga rekam jejak.
Lebih lanjut, Haidar Alwi membantah anggapan bahwa penempatan ini merupakan bentuk dwifungsi militer. Ia menegaskan bahwa Polri berbeda dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Undang-Undang Polri yang berlaku saat ini—disusun pada tahun 2002—sesuai dengan amanat reformasi. Ia pun mengimbau masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu yang mengaitkan penempatan anggota Polri di K/L dengan dwifungsi militer.
Penjelasan Hukum Penempatan Anggota Polri di K/L
Pasal 28 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian jika berdasarkan penugasan dari Kapolri dan sesuai dengan tugas dan fungsi Polri. Haidar Alwi menjelaskan bahwa meskipun sekilas syaratnya tampak mengharuskan pengunduran diri atau pensiun, hal tersebut tidak berlaku jika penugasan dilakukan sesuai ketentuan tersebut.
Lebih lanjut, Pasal 42 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Polri dapat menjalin kerja sama dengan instansi lain, baik dalam maupun luar negeri, untuk kepentingan umum, termasuk pembinaan dan pengawasan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menjadi dasar hukum lain yang mendukung penempatan anggota Polri di K/L.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga turut mengatur hal ini. Pasal 19 dan Pasal 20 undang-undang tersebut memperbolehkan anggota Polri mengisi jabatan ASN tertentu, dan sebaliknya. Pengisian jabatan ASN tertentu oleh anggota Polri di instansi pusat diatur berdasarkan Undang-Undang Polri dan peraturan pemerintah.
Proses dan Pertimbangan Penempatan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (sebagaimana telah diperbarui dengan PP Nomor 17 Tahun 2020) juga mengatur mengenai hal ini. Pasal 147, 148, dan 149 PP tersebut menjelaskan bahwa jabatan ASN tertentu di lingkungan instansi pusat dapat diisi oleh anggota Polri sesuai kompetensi dan UU Polri, serta ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dengan persetujuan menteri.
Haidar Alwi menekankan bahwa proses penempatan anggota Polri di K/L mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, rekam jejak, kesehatan, integritas, dan persyaratan jabatan lainnya. Ia menegaskan bahwa penempatan ini bukan semata-mata keinginan Polri, melainkan melalui proses yang terukur dan sistematis.
Kesimpulannya, penempatan anggota Polri di K/L telah diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prosesnya pun transparan dan mempertimbangkan berbagai aspek kompetensi. Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu yang tidak berdasar dan memahami konteks hukum yang mengatur hal tersebut.