Perbedaan Sistem Politik Jadi Penghambat Utama Partisipasi Masyarakat Sipil ASEAN, Ini Kata FPCI
FPCI mengungkapkan perbedaan sistem politik antar negara ASEAN menjadi kendala serius bagi Partisipasi Masyarakat Sipil ASEAN. Mengapa hal ini bisa terjadi dan apa dampaknya?

Ketua sekaligus pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal, mengungkapkan pandangannya mengenai hambatan partisipasi masyarakat sipil di kawasan Asia Tenggara. Ia menilai bahwa perbedaan sistem politik antar negara anggota ASEAN menjadi faktor utama yang menghambat keterlibatan aktif masyarakat. Pernyataan ini disampaikan dalam wawancara khusus di Jakarta pada Selasa lalu.
Dino Patti Djalal menyoroti pentingnya menggali lebih dalam isu ini, mengingat visi ASEAN telah bertransformasi menjadi "ASEAN yang berpusat pada rakyat dan berorientasi pada rakyat" sejak KTT ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur pada tahun 2015. Meskipun demikian, realitas di lapangan menunjukkan bahwa setiap pemerintah negara anggota memiliki hubungan yang berbeda dengan masyarakat sipilnya.
Visi "ASEAN yang berpusat pada rakyat" bertujuan menjadikan masyarakat sebagai inti dari setiap keputusan dan program perhimpunan. Namun, implementasinya menghadapi kompleksitas akibat keragaman lanskap politik di Asia Tenggara, yang secara langsung memengaruhi cara masyarakat sipil dapat berinteraksi dan berkontribusi.
Tantangan Implementasi Visi "ASEAN Berpusat pada Rakyat"
Sejak dideklarasikan pada KTT ASEAN ke-27 di Kuala Lumpur pada tahun 2015, visi "ASEAN yang berpusat pada rakyat dan berorientasi pada rakyat" telah menjadi semangat utama perhimpunan di abad ke-21. Visi ini menekankan pentingnya menjadikan kesejahteraan dan partisipasi masyarakat sebagai prioritas utama dalam setiap agenda regional. Namun, implementasi visi mulia ini tidaklah tanpa tantangan signifikan.
Dino Patti Djalal menafsirkan visi "ASEAN yang berpusat pada rakyat" setidaknya mencakup tiga aspek krusial. Pertama, setiap keputusan yang diambil oleh ASEAN sebagai organisasi harus memberikan manfaat nyata bagi seluruh masyarakat di kawasan. Ini berarti kebijakan dan inisiatif ASEAN harus secara langsung berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga.
Kedua, masyarakat ASEAN harus terlibat aktif dalam berbagai program yang digagas, memastikan bahwa tidak ada kegiatan yang meminggirkan rakyat. Partisipasi ini mencakup kesempatan bagi masyarakat untuk menyuarakan aspirasi, terlibat dalam perencanaan, dan menjadi bagian integral dari implementasi program-program regional.
Ketiga, harus terjalin konektivitas yang kuat antar masyarakat, baik di kalangan pelajar, pelaku bisnis, peneliti, maupun kelompok lainnya. Hubungan yang erat dan kolaborasi antar masyarakat ini menjadi fondasi penting untuk mencapai tujuan visi tersebut, mendorong pemahaman lintas budaya dan kerja sama regional yang lebih dalam.
Dinamika Hubungan Pemerintah dan Masyarakat Sipil di Asia Tenggara
Dino Patti Djalal menjelaskan bahwa cara kerja dan interaksi masyarakat sipil dengan pemerintah sangat bervariasi di setiap negara anggota ASEAN. Sebagai contoh, fungsi dan peran masyarakat sipil di Indonesia berbeda jauh dengan di Vietnam, yang memiliki sistem politik berbeda. Demikian pula dengan Laos dan Brunei Darussalam, masing-masing menunjukkan dinamika hubungan yang unik.
Keragaman ini menjadi perhatian utama bagi FPCI dalam upaya mereka untuk membangun jembatan antara masyarakat sipil di seluruh Asia Tenggara. Proses ini, menurut Dino, tidaklah mudah dan memerlukan pembelajaran berkelanjutan. Organisasi-organisasi seperti FPCI harus secara cermat memahami lanskap domestik masing-masing negara untuk dapat berinteraksi secara efektif.
Oleh karena itu, strategi ASEAN untuk membangun komunitas yang berpusat pada rakyat harus secara serius mempertimbangkan perbedaan lanskap masyarakat yang ada di Asia Tenggara. Pendekatan yang seragam mungkin tidak akan berhasil, sehingga diperlukan fleksibilitas dan pengakuan terhadap otonomi serta karakteristik masing-masing negara dalam mengelola hubungan dengan masyarakat sipilnya.
Pengembangan partisipasi masyarakat sipil ASEAN yang inklusif dan berkelanjutan membutuhkan dialog terbuka serta upaya bersama untuk mengatasi hambatan yang muncul akibat perbedaan sistem politik. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen dari semua pihak untuk mencapai visi bersama.