Perlambatan Kredit Maret 2025: BI Tegaskan Bukan Pelemahan Fundamental
Bank Indonesia (BI) memastikan perlambatan pertumbuhan kredit pada Maret 2025 bukan indikasi pelemahan mendasar sektor perbankan, didorong minat penyaluran kredit yang tinggi dan likuiditas perbankan yang memadai.

Jakarta, 23 April 2025 - Bank Indonesia (BI) memberikan penjelasan terkait perlambatan pertumbuhan kredit yang terjadi pada bulan Maret 2025. Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menekankan bahwa perlambatan tersebut bukan merupakan indikasi pelemahan fundamental pada fungsi intermediasi perbankan. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan April 2025.
Pertumbuhan kredit pada Maret 2025 tercatat sebesar 9,16 persen year on year (yoy), menurun dibandingkan bulan Februari 2025 yang mencapai 10,30 persen (yoy). Namun, menurut Juda Agung, minat penyaluran kredit perbankan tetap tinggi, ditunjukkan oleh indeks lending standard yang stabil. Persyaratan kredit, seperti agunan, bunga, dan persyaratan lainnya, belum menunjukkan tanda-tanda pengetatan.
Kondisi likuiditas perbankan juga dinilai masih memadai. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) pada Maret 2025 tercatat sebesar 26,22 persen, menunjukkan ruang yang cukup besar untuk penyaluran kredit. Meskipun beberapa bank mengalami pengurangan penghimpunan dana domestik dan mencari pendanaan dari luar negeri, BI menilai hal ini masih dalam batas kewajaran dan tidak mengindikasikan masalah sistemik.
Analisis Sektoral Pertumbuhan Kredit
BI mencatat pertumbuhan kredit yang cukup tinggi di beberapa sektor utama, seperti industri pengolahan, pertambangan, serta pengangkutan dan jasa sosial. Namun, pertumbuhan kredit di sektor perdagangan dan konstruksi tergolong rendah dan perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut. "Pertumbuhan kredit ini akan terus kita lihat ke depan, terutama tentu saja dari sisi demand. Pertumbuhan ekonomi ke depan kita terus cermati dan juga berbagai langkah yang akan kita lakukan termasuk beberapa penguatan kebijakan makroprudensial KLM dan pelonggaran atau penguatan untuk pendanaan dari dana-dana non-DPK," jelas Juda Agung.
BI memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan akan berada di kisaran bawah 11-13 persen pada tahun 2025. Ke depan, BI akan terus memantau berbagai risiko ketidakpastian global dan dampaknya terhadap perekonomian domestik, yang berpotensi mempengaruhi permintaan kredit dan preferensi penempatan aset likuid perbankan.
Untuk mengantisipasi potensi risiko tersebut, BI akan memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif, termasuk mengoptimalkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM). Implementasi ketentuan Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) juga akan diperkuat untuk mendorong pendanaan perbankan dan penyaluran kredit ke sektor riil. Koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan terus ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan kredit dalam rangka pembiayaan ekonomi.
Langkah-langkah Antisipatif BI
- Penguatan Kebijakan Makroprudensial: BI akan terus memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
- Optimalisasi KLM: Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) akan dioptimalkan untuk mendorong penyaluran kredit.
- Penguatan RPLN: Rasio Pendanaan Luar Negeri (RPLN) akan diperkuat untuk mendorong pendanaan perbankan dan manajemen likuiditas yang lebih baik.
- Koordinasi dengan KSSK: BI akan mempererat koordinasi dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mendorong pertumbuhan kredit yang berkelanjutan.
Meskipun terjadi perlambatan pertumbuhan kredit pada Maret 2025, BI optimis bahwa hal tersebut bukan merupakan indikasi pelemahan fundamental. Dengan langkah-langkah antisipatif yang telah dan akan diambil, BI berupaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Ada bank-bank tertentu yang loan to deposit (LDR)-nya sudah tinggi, AL/DPK-nya relatif rendah, tetapi demand terhadap kreditnya tinggi kepada bank itu, dia (bank) bisa ambil dana dari luar, dari dana non-DPK," ujar Juda Agung menjelaskan strategi beberapa bank dalam menghadapi permintaan kredit yang tinggi.